Blog yang menghimpun konten ilmu yang bermanfaat

KESAKSIAN RUH: FITRAH MANUSIA SEJAK ZAMAN AZALI

ruh 2

Al-Qur’an dalam surat al-‘Araaf ayat 172, mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam diri setiap manusia, dan bahwa hal tersebut merupakan fitrah manusia sejak asal kejadiannya. Argumen tersebut dikuatkan dengan Firman-Nya yang lain surat al-Rum ayat 30.

فَأَقِمْ وَجَهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفاً فِطْرَتَ اللهِ التِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهاَ لاَ تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَ لكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Qs. al-Rum: 30)

Begitu juga dalam Hadist Nabi Saw yang terdapat dalam Shahih Muslim-al-Bukhari, dari Abu Hurairah ra., ia berkata, sabda Rasulullah Saw,

مَا مِنْ مَولُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَو يُمَجِّسَانِهِ أَو يُشْرِكَانِهِ

Setiap anak tidak dilahirkan kecuali dalam kondisi fitrah (suci) maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, Majusi atau musyrik. (HR. Muslim-al-Bukhari)

Setiap orang memiliki fitrah itu, walau seringkali -karena kesibukan dan dosa - suara fitrahnya begitu lemah atau tidak terdengar lagi. Karena itu, kalau ada orang yang mengingkari wujud dan ke-Esaan Allah maka pengingkaran tersebut bersifat sementara. Dalam arti bahwa pada akhirnya sebelum ruhnya berpisah dengan jasadnya, maka ia akan mengakui-Nya.

Memang boleh jadi ada saat-saat dalam hidup ini, singkat atau panjang dimana manusia mengalami keraguan tentang wujud-Nya, bahkan boleh jadi keraguan tersebut mengantarnya untuk menolak kehadiran Tuhan dan menanggalkan kepercayaannya, akan tetapi karena manusia mempunyai naluri mengharap, cemas, dan rasa takut atau harapannya tidak lagi dapat terpenuhi oleh makhluk lain. Maka fitrah akan wujud Tuhan akan selalu muncul demi untuk memudahkan segala kesulitan. Inilah sebabnya mengapa kita melihat bahwa kebanyakan sufi membuktikan eksistensi Allah dan pengendalian-Nya akan urusan-urusan dunia ini dengan merujuk pada keadaan pikiran dan kesadaran ketika berhadapan dengan peristiwa-peristiwa mengerikan seperti tenggelam atau kebakaran.

Mengapa kemudian ketika mereka telah selamat dari bahaya-bahaya tersebut, mereka pun melupakan kebenaran, pergi ke kuil-kuil dan sujud di hadapan berhala-berhala dan meminta tolong kepada selain Allah? Namun, apa yang terjadi pada diri manusia jatuh kedalam sungai waktu dan peristiwa serta perubahan-perubahan dunia. Manusia-pun kemudian sedemikian terlibat dan tenggelam dalam perubahan dunia temporal sehingga dia lupa dengan pengetahuan dan pengalaman langsung akan Tuhan dan pencipta yang pernah dimiiknya. Kelupaan ini merupakan sesuatu yang sama dengan “dirinya sendiri” yang telah dijelaskan di atas.

Salah satu penderitaan paling pedih yang dialami manusia di dunia ini, seperti kehidupan dan problem-problemnya, akibatnya menusia sama sekai lupa akan dirinya, hal ini pun menghancurkan kesadaran mereka akan Tuhan. Terkadang karena keberhasilan, manusia lalu menjadi sama sekali buta terhadap, dan tidak mengenal Tuhan, meskipum Tuhan benar-benar nyata didepan mata mereka.

Pada akhirnya, dapat kita tarik pelajaran bahwa perjanjian yang dilakukan manusia di hadapan Tuhan sebagaimana dijelaskan di atas, tidak cukup kuat untuk senantiasa menempatkan manusia untuk sepanjang waktu dijalan lurus, suatu jalan penyembahan kepada Allah. Namun, perjanjian dan pengkuan tersebut berpengaruh pada penempatan jiwa dan hati nurani manusia untuk senantiasa siap mencari pengetahuan tentang Allah sehingga pada hari pengadilan tidak ada seorang-pun yang dapat berdalih bahwa “kami semua tidak mengetahui masalah ini”.

Kesiapan fitri untuk mencari Tuhan ini cukup kuat, sehingga setiap manusia mampu melepaskan diri dari kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh para orang tua dan leluhur mereka, dan juga setiap manusia mampu menapak di jalan kebenaran.

Kesaksian ruh menunjukkan bahwa manusia dilahirkan dengan citra yang baik, seperti membawa potensi suci, ber-Islam, bertauhid, ikhlas, mampu memikul amanah Allah Swt untuk menjadi khalifah dan hamba-Nya di muka bumi, dan memiliki potensi daya pilih. Sehingga apabila seorang anak kecil lahir ke dunia, dan meninggal sebelum sampai pertimbangan akalnya, diapun dihitung mati dalam fitrah, yang berarti juga dalam Islam, dan langsung masuk surga.[1]

Manusia secara fitrah telah memiliki watak dan kecenderungan tauhid, walaupun masih di alam imateri (alam ruh, alam alastu).

وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْناَ أَنْ تَقُولُوا يَومَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُناَّ عَنْ هَذَا غَافِلِيْنَ

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan). (Qs. Al-A'raf: 172)

Menurut Ikhwan al-Shafa, firman tersebut berkaitan dengan perjanjian ruh manusia di alam perjanjian (alam mitsaq) atau disebut juga ‘alam al-‘ardh al-awwal. Perjanjian itu harus diikrarkan ulang pada perjanjian terakhir (al-mitsaq al-akhir) di alam materi setelah baligh.[2]

Menurut al-Thabathaba’i dialog dengan Allah di alam arwah diatas merupakan sunnah penciptaan ketuhanan (sunnah al-khilqah al-ilahiyah) yang berlaku untuk semua manusia di dunia kelak.[3]

Ibnu al-Arabiy menyebutkan dengan fitrah manusia yang universal. Sedangkan Rasyid Ridha menyebutkan dengan perjanjian fitrah dan akal yang dilakukan dengan lisan al-hal dan lisan al-maqal.

Berdasarkan pemaknaan di atas, maka muncul dua pandapat “apakah bertauihid itu sesuatu yang primer ataukah sekunder yang datang kemudian?” Jawaban yang kuat adalah bahwa bertauhid merupakan sesuatu yang asli dan fitri, sedang musyrik itu berasal dari kealpaan, ketidak-tahuan, dan keangkughan.

Potensi yang baik tersebut perlu diaktualisasikan dalam tingkah laku yang nyata. Citra baik tersebut pada mulanya disangsikan oleh Malaikat dan iblis, namun setelah Allah Swt meyakinkannya maka Malaikat percaya akan kemampuan manusia, sementara iblis dengan kesombongannya tetap mengingkarinya. Jika terdapat manusia yang masih menentukan citra buruk manusia, berarti ia mengikuti persepsi iblis.

Kelebihan citra manusia dibanding dengan citra makhluk lain dapat diumpamakan dengan “pemilihan kepala desa” yang merebutkan singgasana amanah atau predikat khalifah Allah Swt di muka bumi. Waktu terdapat empat kandidat: Pertama; partai malaikat dengan atribut bendera putih (baik); Kedua, partai iblis dengan atribut bendera hitam (buruk); Ketiga, partai langit, bumi, dan gunung yang beratribut bendera tidak hitam dan tidak putih (tidak buruk dan tidak baik); Keempat, partai manusia yang beratribut bendera putih dan hitam (bisa baik dan bisa buruk). Masing-masing partai mengadakan kampanye agar Allah Swt memilihnya menjadi khalifah-Nya. Dalam firman Allah:

وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيْهاَ مَنْ يُفْسِدُ فِيْهاَ وَ يَسْفِكُ الدِّماَءَ وِ نَحْنُ نُسَبحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ ماَ لاَ تَعْلَمُونَ * وَ عَلَّمَ آَدَمَ الأَسْماَءَ كُلَّهاَ ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُونِيْ بِأَسْمآءِ هَؤُلآءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ * قَالُوا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَناَ إِلاَّ مَا عَلَّمْتَناَ إِنَّكَ أَنْتَ الْعِلِيْمُ الْحَكِيْمِ * قَالَ يَآدَمُ أَنْبِئْهُمْ بِأَسْمآئِهِمْ فَلَماَّ أَنْبَئَهُمْ بِأَسْمآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَ الأَرْضِ وَ أَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَ ماَ كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ * وَ إِذْ قُلْناَ لِلْمَلاَئِكَةِ اٍسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلاَّ إِبْلِيْسَ أَبَى وَ اسْتَكْبَرَ وَ كاَنَ مِنَ الْكَافِرِيْنَ

(30) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”

(31) Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”

(32) Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

(33) Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”

(34) Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam.” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (Qs. al-Baqarah: 30-34)

Statement malaikat tersebut, selain menunjukkan citra baik manusia, juga menunjukkan suprioritas manusia disbanding dengan dirinya. Malaikat tercipta sebagai makhluk yang baik dan ia melakukan kebaikan itu sepanjang hidupnya tanpa melakukan penyelewengan.

Demikian pula, partai iblis berkampanye bahwa fitrah dirinya lebih baik dari pada fitrah manusia. Ia tercipta dari api, sedang manusia tercipta dari tanah. Partai berikutnya adalah langit, bumi, dan gunung.

وَ أَورَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَ دِيَارَهُمْ وَ أَمْوَلَهُمْ وَ أَرْضاً لَمْ تَطَؤُهاَ وَ كاَنَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيئٍ قَدِيْرٌ

Dan dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak. Dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu. (Qs. al-Ahzab: 27))

Dari ayat di atas dapat disebutkan bahwa langit dkk, tidak berkampanye seperti Malaikat dan iblis karena mereka meskipun memiliki tingkat kemusliman yang tinggi, dalam arti selalu tunduk dan patuh terhadap sunnah-sunnah Allah, namun mereka tetap menolak menjadi khalifah di bumi, sebab menerima amanah itu memiliki tanggung jawab dan resiko hidup yang berat.

Berbeda dengan manusia yang diberi potensi baik dan buruk dan dibebaskan untuk memilih dua potensi itu, apakah ia memilih potensi baik atau potensi buruk? Selanjutnya, manusia dengan fitrahnya mereka bersedia menerima amanah tersebut.

Ikhwan Shafa lebih lanjut menjelaskan dengan ta’wil batiniy. Menurut dia, penerimaam ruh terhadap amanah di alam perjanjian itu terbagi ada dua kategori, yaitu: (1) ruh yang tahu (alim) dan arif hakikatnya. Kesaksian itu benar dan diterima; (2) ruh yang bodoh (jahl). Kesaksian salah dan tertolak. Kebodohan ruh disebabkan oleh kealpaan subtansinya terhadap natur badannya yang ditempati nanti. Badan bernatur kotor dan buruk yang dapat mengotori ruh. Apabila ruh terlena dengan kenikmatan badani berarti penerimaannya dianggap sebagai zat yang zalim dan sangat bodoh.

Berbicara mengenai manusia, dalam al-Qur’an, ada tiga istilah kunci yang mengacu kepada makna pokok manusia: basyar, insan dan al-Nas. Ada konsep-kopsep lain yang jarang dipergunakan dalam al-Qur’an dan dapat dilacak pada salah satu diantara tiga istilah kunci tadi, unas, unasy, insy, ins.

Tampak al-Qur'an memandang manusia sebagai makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis manusia, maka juga da hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.

Manusia sebagai basyar berkaitan unsur material, yang dilambangkan dengan unsur tanah. Pada keadaan ini, manusia secara otomatis tunduk kepada takdir Allah di alam semesta, sama taatnya seperti matahari, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musyayar. Namun, manusia sebagai insan dan al-Nas bertalian dengan hembusan Ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikan kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Ia menjadi makhluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat rabbaniyah menurut ungkapan Ibnu ‘Arabi, seperti sama’, bashar, kalam, qadar. Ia mengembangkan wilayah ilahiah, seperti kata al-Thabathaba’i, karena itu, ia dituntut untuk bertanggung jawab.

Karena pada diri manusia ada predisposisi negatif dan positif sekaligus, menurut al-Qur’an, kwajiban manusia ialah memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang dipikulkannya. Secara konkret, kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari’at Islam yang dirancang sesuai dengan amanah itu. Al-Qur’an tak lain hanya merupakan rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi janjinya itu.

Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia yang sekaligus membedakannya dari binatang, yaitu potensi mengembangkan iman dan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya disebut amal shaleh, karenanya kita menyimpulkan bahwa ilmu dan iman adalah dasar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Inilah hakikat kemanusiaanya. Keduanya harus dikembangkan secara seimbang.

Dalam kenyataannya, sedikit sekali orang yang dapat mengembangkan ilmu dan iman sekaligus. Sedikit orang yang beriman, sedikit orang yang berilmu, dan lebih sedikit lagi orang yang berilmu dan beriman. Kelompok inilah yang disebut al-Qur’an dalam surat al-Mujadilah ayat 11.

يَآيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا إِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَ إِذَا قِيْلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وِ اللهُ بِماَ تَعْمَلُونَ خَبِيْرٌ

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. al-Mujadilah: 11)

Makna hidup manusia diukur sejauh mana ia mengembangkan iman dan ilmunya.

الَّذِي خَلَقَ الْمَوتَ وَ الْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَ هُوَ الْعِزِيْزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Qs. al-Mulk: 2)

Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana eksistensi kepribadian manusia yang tidak beragama. Apakah ia disamakan substansinya dengan manusia yang tidak beragama dan apakah mereka bisa terbebas dari tanggung jawab sosial dan agama? Jawabannya tentu kepribadian yang tidak beragama tetap dinyatakan sebagai kepribadian manusia bukan kepribadian hewan. Oleh karena kedudukannya sebagai kepribadian manusia maka kepribadian itu mendapat perhitungan kelak akhirat, bukan dibiarkan begitu saja seperti kepribadian hewan.

Perlu diperhatikan bahwa manusia selain mempunyai jasad, manusia juga memiliki ruh yang berasal dari Tuhan. Ruh sebagaimana uraian di atas, ruh merupakan esensi kehidupan manusia. Melalui fitrah ruhani maka hakikat manusia tidak hanya dilihat dari aspek biologis, namun juga dari aspek ruhaniah. Boleh jadi, secara biologis manusia lebih buruk dari iblis, karena ia tercipta dari tanah sedang iblis dari api, tetapi secara ruhaniyah manusia lebih baik dari pada iblis, bahkan lebih baik dari pada malaikat, sebab manusia mampu memikul amanah Allah. Karena itu, hakekat manusia bukan hewan yang berakal, tetapi manusia adalah makhluk Allah yang mulia dan berakal.

Selanjutnya, kebutuhan ruh yang utama adalah agama yang teraktualisasi dalam bentuk ibadah. Beragama bukan berarti delusi, ilusi, atau irasional, tetapi menduduki tingkat supra kesadaran manusia. Agama menjadi frame bagi kehidupan manusia yang menjiwai hidup berbudaya, berekonomi, berpolitik, bersosial, beretika, dan berestetika. Maka dari itu, motivasi hidup adalah beribadah kepada Allah sebagai realisasi diri terhadap amanah Allah Swt.

Kehidupan manusia bukan hanya sekedar dilahirkan terus dimatikan, tetapi jauh sebelum dan sesudahnya masih terdapat alam lagi, yaitu alam perjanjian (pra-kehidupan dunia), alam dunia, dan alam akhirat (pasca-kehidupan dunia). Semua perbuatan manusia tidak akan sia-sia sebab perbuatan baik yang dilakukan manusia di dunia akan mendapat balasan yang baik pula akhirat kelak, meskipun di dunia manusia mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Sebagai makhluk yang memiliki bentuk dan rupa yang sempurna dibanding makhluk lain, manusia harus selalu berfikir tentang asal kejadiannya.

Manusia yang berfikir adalah mereka yang selalu ingat dengan kuasa dan iradah-Nya. Manusia yang tidak berfikir, yang selalu sibuk dengan kehidupan dunia, adalah mereka yang lupa asal kejadiannya, sehingga sifat congkak dan sombongnya semakin menjadi-jadi, baik dihadapan Allah maupun manusia yang lain.

Selanjutnya, apakah orang-orang kafir (non-muslim) menerima pahala amal salehnya? Benar, menurut al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 62,

إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوا وَ الَّذِيْنَ هَادُوا وَ النَّصَارَى وَ الصَّابِئِيْنَ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَ الْيَومِ الآخِرِ وَ عَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَ لاَ هُمْ يَحْزَنُونً

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Qs. al-Baqarah: 62)

Makna ayat ini sangat jelas, ayat ini menegaskan bahwa keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama, tapi dengan satu syarat memenuhi kaidah iman kepada Allah, hari akhir, dan amal shaleh.

Masalah muncul, ketika manusia berfikir mengapa harus ada berbagai agama, padahal manusia secara fitrah sudah bertauhid kepada Allah, kenapa Tuhan repot-repot bikin agama yang bermacam-macam, kenapa Allah tidak menjadikan semua agama itu satu saja? Apa tujuan penciptaan berbagai agama itu? Al-Qur’an menjawabnya dengan indah.

وَ أَنْزَلَ إِلَيْكَ الْكِتاَبَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِماَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتاَبِ وَ مُهَيْمِناً عَلَيْهِ فَأَحْكَمَ بَيْنَهُمْ بِماَ أَنْزَلَ اللهُ وَ لاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَماَّ جآءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْناَ مِنْكُمْ شِرْعَةً وَ مِنْهَاجاً وَ لَوْ شَاءَ اللهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَ لَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَآ ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعاً فَيُنَبِّئُكُمْ بِماَ كُنْتُمْ فِيْهِ تَخْتَلِفُونَ

Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Qs. al-Maidah: 48)

Perlu diperhatikan oleh manusia, bahwa manusia disamping sebagai khalifah,[4] manusia juga bertugas untuk mengabdi secara penuh kepada Allah:

وَ ماَ خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونَ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Qs. adz-Dzariyat: 56).

Kata ‘abd dipakai untuk menyebut manusia pada umumnya, karena manusia pada dasarnya adalah ciptaan dan menjadi ‘abd atau hamba bagi penciptanya. Esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan manusia pada dasarnya hanya layak diberikan kepada Allah yang tercermin pada ketaatan, kepatuhan dan ketundukan pada keadilan dan kebenaran. Jadi, manusia sebagai khalifah adalah manusia yang diberi kebebasan dan kreativitas, sedangkan manusia sebagai ‘abd merupakan hal kodrat yang diberikan oleh Allah manusia, mau tidak mau manusia harus taat dan patuh kepada penciptanya, yaitu Allah. Maka dari itu, jika manusia tidak mau menyadari akan misi kehambaan dan kekhalifahannya, maka manusia tidak menyakini eksistensi Allah dan manusia seperti itu, akan berjalan di luar kesepakatan.


[1] H. Salim Bahreisy, H. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibn Katsier, jilid III, Surabaya: Bina Ilmu, tth, hlm. 503.

[2] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Beirut: Dar al-Fikr, 1342 H, jilid IX, hlm. 390.

[3] al-Thabathaba’i, Tafsir al-Mizan, Beirut: Muassasah al-'alamiy li Mathbu'at, 1991, jilid VIII, hlm. 315.

[4] Dalam tafsir al-Razi di terangkan bahwa khalifah adalah orang yang menggantikan dan menempati kedudukan orang lain. (lihat Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir al-Razi, jilid II, Beirut: Libanon Dar al-Fikr,1985, hlm. 180.)

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+

Related : KESAKSIAN RUH: FITRAH MANUSIA SEJAK ZAMAN AZALI

0 komentar:

Posting Komentar