Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengkap Ummu al-Khair bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Basrah pada tahun 95 H (717 M) menurut Ibn Khalikan, keluarga Rabi.ah dari suku Atiq, dan ayahnya bernama Ismail.[1]
Konon keluarga Ismail hidup dengan penuh taqwa dan iman kepada Allah. Tak henti-hentinya melakukan zikir dan beribadah melaksanakan ajaran-ajaran Islam. Kondisi hidup dalam kemiskinan, menyebabkan Ismail dan istrinya selalu berdoa agar dikaruniai anak laki-laki, yang diharapkan dapat membantu mengurangi penderitaan yang dialami, karena selama kelahiran anaknya yang ketiga, semuanya adalah perempuan. Namun Allah berkehendak lain, anaknya yang keempat pun lahir perempuan. Putri yang keempat ini diberi nama Rabi’ah, yang berarti sesuai nomor urut kelahirannya yang keempat.[2]
Pada malam kelahiran Rabi’ah tidak terdapat suatu barang berharga yang didapat dalam rumah Ismail. Bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk lampu penerang. Rumah tersebut juga tidak terdapat sehelai kainpun yang dapat digunakan untuk menyelimiti bayi yang baru lahir. Istrinya minta agar Ismail pergi ke tetangga untuk minta sedikit minyak guna menyalakan lampu. Akan tetapi ayah Rabi’ah telah bersumpah tidak akan meminta sesuatu pun dari manusia lain sehingga ia pura-pura menyentuh rumah tetanggannya lalu kembali ke rumah dan melaporkan bahwa tetangganya sedang tidur sehingga tidak membukakkan pintu.[3]
Dalam kondisi yang memprihatinkan tersebut ayah Rabi’ah termenung dan sedih kemudian sampai tertidur dan bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. Rasulullah berkata: “Janganlah engkau bersedih, karena putrimu itu akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga akan banyak orang yang mengharapkan syafaatnya.”
Kemudian Rasulullah menyuruh ayah Rabi’ah untuk pergi menemui Isa Zadan, Amir Basrah yang menyiapkan sepucuk surat berisi pesan Rasulullah seperti yang disampaikan dalam mimpinya. “Hai Amir, engkau biasanya Salat 100 rekaat setiap malam, dan setiap malam Jum’at 400 rekaat. Tapi pada hari Jum’at yang terakhir engkau lupa melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar 400 dinar kepada yang membawa surat ini, sebagai kifarat atas kelalian itu”.[4]
Pada pagi harinya, ayah Rabi’ah menulis sepucuk surat seperti yang dipesankan Rasulullah dan pergi menemui Amir. Ketika Amir membacanya ia segera memerintahkannya untuk menyerahkan empat ratus dinar. Namun ia segera membatalkan perintah tersebut karena ia sendiri yang akan menyerahkan uang itu sebagai penghormatan terhadap orang yang mengirim pesan Rasulullah. Peristiwa inilah yang merubah persepsi Ismail dan istrinya terhadap anak perempuannya yang keempat, kemudian mereka menyambut kehadiran Rabi’ah dengan bahagia.
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang terbiasa dengan kehidupan orang saleh dan zuhud. Sejak kecil, kecerdasan Rabi’ah sudah tampak, sesuatu yang biasanya tidak terlihat pada gadis kecil seusianya. Ia juga menyadari penderitaan yang dihadapi orang tuanya. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi ketaqwaan dan pengabdian keluarga Rabi’ah terhadap Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, ia selalu melakukan ibadah kepada Allah sesuai dengan yang telah dilihat dan didengarnya dari ayahnya. Dengan akhlak yang mulia, tidak jarang Rabi’ah membangkitkan rasa kagum ayahnya. Ia tidak pernah mencaci orang atau menyakiti perasaan manusia. Suatu hari, ketika seluruh anggota keluarga duduk di meja makan untuk makan malam, Rabi’ah memandang ayahnya seraya berkata, “Wahai Ayah! aku tidak mau menjadikan ayah sebagai orang yang akan menghalalkan sesuatu yang haram untuk memberiku makan”.[5] Kontan sang ayah menahan tangannya dari menyentuh makanan, kemudian ia berkata, “Apa pendapatmu wahai Rabi’ah, jika kita belum memperoleh sesuatu yang halal, apakah kita akan mengutamakan hal-hal yang haram?”[6]
Rabi’ah menjawab, “Wahai Ayah, kami akan bersabar di dunia dalam keadaan kelaparan, sebab hal itu lebih baik daripada bersabar di akhirat dalam menghadapi neraka!”.[7] Sang ayah merasa sangat heran mendengar jawaban putrinya. Ia benar-benar bangga, karena jawaban seperti itu hanya bisa didengar dari orang yang zuhud dan ahli ibadah.
Saat menginjak usia remaja, ayah Rabi’ah meninggal dunia. Beberapa waktu kemudian ibunya menyusul, sehingga ia menjadi anak yatim piatu yang tidak mewarisi harta benda dari orang tuannya. Satu-satunya peninggalan yang berarti dari orang tuannya adalah sebuah perahu kecil yang dipakai ayahnya untuk mencari nafkah. Suatu sore, ketika Rabi’ah pulang dari sungai ia menangis tersedu-sedu. Tidak ada sebab apapun ia merasakan sesuatu kesedihan yang aneh sekali.
Peristiwa tersebut membuat Rabi’ah selalu bermimpi di malam hari dan berulang-ulang dengan mimpi yang sama. Dalam mimpinya Rabi’ah melihat cahaya yang terang yang akhirnya menyatu dengan tubuh dan jiwanya. Suatu siang saat dia berada di atas perahunya, tiba-tiba ia mendengar suara yang sangat merdu:
Lebih indah dari senandung serunai yang merdu di kegelapan malam terdengan bacaan Qur’an.
Alangkah bahagianya karena Tuhan mendengarnya.
Suara yang merdu membangkitkan keharuan, dan air mata pun bercucuran.
Pipinya sujud menyentuh tanah bergelimang debu, sedang hatinya penuh cinta Ilahi.
Ia berkata, Tuhanku, Tuhanku. Ibadah kepada-Mu meringankan deritaku.[8]
Rabi’ah beranjak pulang dan ingin segera tidur karena sudah mengantuk tapi ada kejadian aneh yang mengejutkan lagi. Tempat tidurnya diselimuti cahaya yang menyenandungkan kalimat yang pernah didengarnya dan memanggil Rabi’ah: “Hai Rabi’ah belum datangkah saatnya engkau kembali kepada Tuhan-Mu? Ia telah memilihmu, menghadaplah kepada-Nya.”[9]
Peristiwa-peristiwa inilah yang kemudian mengantarkan Rabi’ah pada kehidupan yang penuh dengan ibadah kepada Allah swt. Ketika kota Basrah mengalami kekeringan dan kelaparan, derita Rabi’ah dan saudara-saudaranya semakin bertambah. Mereka kemudian meniggalkan gubuk, menyusuri jalan mencari sesuap nasi. Nasib memisahkan mereka, kini tinggallah Rabi’ah yang miskin dan sebatang kara. Musim kekeringan dan kelaparan mengakibatkan merajalelanya berbagai bentuk macam kejahatan dan perbudakan.
Suatu ketika Rabi’ah ditemukan oleh seorang yang kejam yang kemudian menjualnya seharga enam dirham. Sejak itu Rabi’ah tidak sempat merasakan kegembiraan satu hari pun, dan tidak lagi kebahagiaan barang sesaat. Pada suatu malam Rabi’ah bersujud memanjatkan do’a. Tuannya yang kebetulan dalam tidur, melihat dan mendengarkan do’a tersebut. “Oh Tuhanku, Engkau mengetahui bahwa hatiku selalu mendambakan Engkau dan benar-benar tunduk kepada perintah-Mu. Cahaya mataku mengabdi kepada kerajaan-Mu, jika itu terserah kepadaMu, aku tak akan berhenti menyembah-Mu, walau barang sesaat pun. Namun Engkau telah membuatku tunduk kepada seorang makhluk, karena itu aku terlambat datang dalam beribadah kepada-Mu.”[10]
Karena tuannya melihat sendiri peristiwa itu, maka saat hari mulai terang ia memanggil Rabi’ah. Dengan sikap yang lembut ia membebaskan Rabi’ah dan diizinkan untuk pergi meninggalkannya. Akhirnya Rabi’ah merdeka dan pergi mengembara dengan bebas. Ada yang menyebutkan bahwa Rabi’ah kemudia mencari nafkah dengan bermain seruling, karena konon Rabi’ah pandai bermain seruling.
Rabi’ah menyanyi dan bermain seruling di majelis-majelis zikir dengan mengumandangkan lagu-lagu yang bernuansa zikir kepada Allah. Ia berusaha supaya lagu-lagu yang dikumandangkannya bisa menambah kecintaannya kepada Allah. Ia mulai merenungkan bahwa seluruh makhluk yang berada disekelilingnya, selalu berdoa dan bertasbih kepada Sang Pencipta. Kemudian ia menengadahkan wajahnya ke langit seraya berkata :
Tuhan, semua yang aku dengar di alam raya ini, dari ciptaan-Mu Ocehan burung, desiran dedaunan, gemericiknya air di pancuran, Nyanyian burung tekukur, embusan angin, suara gemuruh, dan kilat yang berkejaran, Kini aku pahami sebagai tanda bukti atas keagungan-Mu Sebagai saksi abadi, atas keesaan-Mu Dan sebagai kabar berita bagi manusia Bahwa, tak satupun ada yang menandingi dan menyekutui-Mu.[11]
Disamping menyanyi, Rabi’ah banyak belajar dari para guru dan ulama yang ada dalam majelis tersebut. Kehidupan sebagai penyanyi dan pemain seruling tidak berlangsung lama. Rabi’ah memilih hidup zuhud dan hanya beribadah kepada Allah.
Dalam hidupnya, Rabi’ah tidak pernah menikah walaupun ia seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran laki-laki yang ingin meminangnya. Karena baginya, pernikahan adalah sebuah rintangan yang dapat menghabat perjalanannya menuju Tuhan. Hingga ia pernah memanjatkan do’a: ”Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari segala perkara yang meyibukkan untuk menyembah-Mu. Dan dari segala penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.[12]
Menurut beberapa sumber, Rabi’ah pernah dilamar oleh Abdul Wahid bin Zaid, seorang yang dihormati dan berpengaruh dalam masyarakat pada waktu itu. Abdul Wahid meminta temannya untuk menjadi perantara kepada Rabi’ah namun ketika perantara itu menemuinya Rabi’ah kemudian berkata: “Wahai orang yang bernafsu kepadaku, carilah wanita yang bernafsu sepertimu.”[13]
Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, Amir Abbasiyah untuk Basrah saat itu juga pernah melamar Rabi’ah. Dia menawarkan emas kawin seratus ribu dinar dan menulis surat kepada Rabi’ah bahwa ia memiliki gaji sepuluh ribu dinar tiap bulan dan semua itu akan dilimpahkan kepada Rabi’ah. Tatapi Rabi’ah membalas surat itu dengan: “Hal itu tidaklah menyenangkanku, kamu akan menjadi budakku dan semua yang kamu miliki akan menjadi milikku, atau kamu akan memalingkan aku dari Tuhan dalam sebuah pertemuan pribadi”.[14]
Menurut Abdul Mun’in Qandil, Rabi’ah termasuk dalam kelompok manusia yang mempunyai naluri yang tinggi, melebihi manusia biasa. Keinginannya yang bersifat manusiawi telah tunduk dan menyerah di bawah keinginan yang suci karena kebutuhan hidupnya yang sangat mendasar sudah tidak sama dengan manusia-manusia lainnya. Dorongan sexsual tidak lagi sebagai gangguan dalam dirinya, sekalipun tidak terpenuhi dengan perkawinan. Kondisi demikian dalam psikologi dapat disebut dengan substitusi yaitu suatu cara untuk menghilangkan sebab-sebabnya. Keinginan Rabi’ah yang bersifat manusiawi telah dialihkan atau dipuaskan (disubstitusikan) dengan rasa cinta kepada Allah Swt.[15]
Sahabatnya yang paling baik dan setia, Abdah binti Abu Shawwal selalu menemaninya dengan baik. Hari-hari mendekati kematiannya, Rabi’ah berpesan kepada Abdah supaya ketika ia meninggalkan dunia fana ini, tidak menyusahkan orang lain. Rabi’ah juga berpesan agar mayatnya nanti dibungkus dengan jubahnya.
Ketika saatnya tiba, Rabi’ah menolak didampingi siapapun, selakipun orang-orang berkeinginan mendampingi adalah orang-orang yang saleh. Setelah orang-orang sekitar Rabi’ah keluar dan menutup pintu terdengarlah suara Rabi’ah mengucapkan syahadat, lalu dijawab suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan senang dan mendapat keridhaan. Maka masuklah ke dalam hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku”.[16]
Mengenai wafatnya Rabi’ah, terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah baik tahun maupun tempat pemakamannya. Dari pendapat yang ada, mayoritas meyakini tahun 185 H (801 M) sebagai tahun wafatnya Rabi’ah, sedang tempat pemakamannya adalah kota kelahirannya sendiri yaitu Basrah.[17]
Adapun mengenai karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah sampai sekarang belum ditemukan dalam bentuk tertulis seperti sufi-sufi lainnya. Dari beberapa buku yang membahas tentang Rabi’ah al-Adawiyah hanya dipaparkan tentang biografi, dan pemikiran-pemikirannya tentang tasawuf, hal ini lah yang sangat disayangkan sekali karena Rabi’ah al-Adawiyah merupakan salah satu tokoh sufi wanita yang sangat langka pada waktu itu.
[1] Sururin, Rabi’ah al-Adawiyah Hubb al-Ilahi, Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 20.
[2] An-Nabawi Jaber Siraj dan Abdussalam A. Halim Mahmud, Rabi’ah Sang Obor Cinta Sketsa Sufisme Wali Perempuan, Sabda Persada, Yogyakarta, 2003, hlm. 3.
[3] Sururin, Op.Cit, hlm. 20-21.
[4] Asfari Ms dan Otto Sukatmo CR, Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah, Logung pustaka, Yogyakarta, hlm. 15.
[5] An Nabawi Jaber dan Abdussalam A. Halim Mahmud, Op.Cit, hlm. 8.
[6] Ibid., hlm. 9.
[7] Ibid.
[8] Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, Op.Cit.,hlm. 19-20.
[9] Ibid., hlm. 20.
[10] Sururin, Op.Cit.,hlm. 35.
[11] Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, Op.Cit., hlm. 24.
[12] Ibid., hlm. 27.
[13] Louis Massignon dan Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001, hlm. 120.
[14] Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, Op.Cit.,hlm. 28-29.
[15] Sururin, Op.Cit., hlm. 40.
[16] Asfari Ms dan Otto Sukatno CR, Op.Cit, hlm. 35.
[17] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar