Menjelang peperangan akbar Baratayudha, Arjuna berkata pada sang Kresna: “Mereka memang serakah, tidak sadar, pikiran mereka pun kacau; namun kita sadar, kita masih dapat berpikir secara jernih, kenapa harus saling membunuh demi merebutkan kekuasaan?”[1]
Kegundahan dan kegelisahan hati Arjuna begitu nampak pada ucapannya itu. Ia takut, ia hendak lari dari tanggung jawab dan darmanya sebagai ksatria. Sebelum berada di Medan Kuruksetra, Arjuna sudah terbiasa mengemis, terbiasa dengan hidup terasingkan di hutan.[2] Hal itu berimplikasi pada ter-regresinya mental dan sikap seorang ksatria, atau malah satria dalam diri Arjuna telah mati. “Di hutanpun saya masih bisa hidup, lalu untuk apa berperang dengan saudara sendiri?” Demikian yang terpikirkan olehnya saat itu.
Beruntungnya Arjuna memiliki Kresna sang sahabat setia. Padahal, bisa saja saat Baratayudha Kresna memihak pada partai yang berkuasa, the high level party, partai yang kuat, yakni pihak Kurawa. Kekayaan dan kejayaan Duryuduna CS tidak menarik perhatian Kresna, ia lebih memihak partai yang lemah dan tidak berkuasa, yakni Yudistira dan adik-adiknya. Pandawa tidak memiliki apa-apa, tanpa wilayah kekuasaan, dan dalam bidang militernya pun Kurawa jauh lebih unggul.
Kresna hanya mengandalkan semangat Pandawa, tetapi semangat itu pula yang terasa patah dan hilang saat Baratayudha hendak berkecamuk di Kuruksetra. “Kekayaan bukan tujuanku, kekuasaan dan kemuliaan bukan orientasi utama kita wahai satria”, seruan Kresna meyakinkan Arjuna yang sedang terdistorsi mental berperangnya.
Mengapa Kresna lebih memilih berpihak pada Pandawa?, bukankah Pandawa hancur dan terpuruk akibat ulah mereka sendiri?, orang baik mana yang rela mempertaruhkan saudara-saudaranya, kerajaan dan kekayaan, bahkan istrinya sendiri dalam berjudi?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut memberikan pemahaman sementara yang menunjukkan keadaan Pandawa tidak lebih baik dari Kurawa. Tetapi Kresna harus memilih, kita semua tetap harus memilih, dan pilihannya bukanlah antara baik dan buruk, atau etis-nonetis. Tidak ada kebaikan seratus persen dan tidak ada pula keburukan seratus persen. Di dalam keburukan kita akan menemukan kebaikan, meski cuma secuil. Begitu pula dalam kebaikan, bila kita telusuri secara mendalam akan ditemukan sisa-sisa dari keburukan itu. Pilihan Kresna jelas dan argumennya pun tepat, “Di antara para jahat Pandawalah yang terbaik, merekalah yang kurang jahat”.
Kresna telah menyadari akan kehancuran Kurawa. Mereka tidak memiliki contingency plan, membangun tanpa kesadaran, membangun tanpa menciptakan ruang gerak supaya pembangunan dapat berlanjut. Kurawa menjalankan roda pemerintahan tanpa membekali diri dengan the art of command. Oleh karena itu, kehancuran dan keruntuhan rezim Kurawa sudah dapat dipastikan. Namun pembangunan harus tetap berlanjut dan diperlukan pemeran yang lebih kredibel sebagai penggantinya. Kresna memilih Pandawa untuk menjalankan peran itu.[3]
Kembali pada Arjuna yang sedang gelisah, satria yang jiwanya terlanda escape mechanism. Ia memilih untuk tidak menghadapi kenyataan hidup dengan melupakan darma baktinyapada ibu pertiwi (Hastinapura). Arjuna memilih untuk tidak berperang, tapi itu pun sebuah pilihan. Di sisi lain, kehancuran Kurawa sebuah keniscayaan. Berperan tidaknya Arjuna dalam proses kehancuran itu, Kurawa akan tetap hancur.
Di tengah Kuruksetra dengan ribuan musuh di hadapan, Kresna tetap setia menjadi sais bagi Arjuna. Dia tak henti-hentinya memberi motivasi dan nasihat-nasihat agar satria dalam diri Arjuna kembali bangun, serta semangat berperangnya kembali berkobar. Sesungguhnya Kresna selalu mendampingi Pandawa dalam rangka membangun manusia dalam diri mereka. Membentuk manusia yang mau membangun, menikmati hasil bangunannya, serta siap menerima perubahan sebagai konsekuensi hukum alam yang tak terelakkan. Bahkan menerima pula kehancuran, sekaligus siap mengkonstruk kembali bangunan yang telah hancur. Ya, itulah tujuan dan harapan Kresna pada Pandawa.
Ternyata sagala usaha Kresna membuahkan hasil, satria dalam diri Pandawa kembali bangkit dan Baratayudha siap dihadapinnya. Semangat, antusiasme, kepercayaan diri, dan keyakinan hati yang kuat membuat Pandawa menjadi pemenang dalam peperangan tersebut. Akhirnya kemuliaan, kejayaan, dan kekuasaan dapat mereka raih kembali.
Keadaan pendidikan Islam saat ini kurang lebih sama seperti kondisi keluarga Barata saat itu. Apa yang terjadi pada pendidikan saat ini mengingatkan penulis pada kejadian-kejadian yang mengantar keturunan Barata ke medan Kuruksetra. Setelah membangun tanpa kesadaran, keterpurukanlah yang terjadi. Janganlah merasa puas dengan jumlah lembaga pendidikan yang kian bertambah dan gedung-gedung sekolah yang terus terkonstruk. Janganlah terlalu yakin pada paradigma yang selalu berubah serta sistem yang selalumengalami revisi dan inovasi. Masa kejayaaan pendidikan Islam tinggal kenangan (Zaman Abbasiyah), masa kemunduran dan keterpurukan pun telah dirasakan.
Semestinya saat ini kita sudah harus berada pada fase pembangunan kembali tatanan pendidikan Islam, dan untuk membangun pendidikan Islam baru, manusianya yang harus dibangun terlebih dahulu. Bukan sistem, paradigma, orientasi tujuan atau yang lainnya. Manusia yang belum bangun mau membuat sistem macam apa? Manusia yang belum sadar hanya akan menciptakan sistem-sistem tanpa kesadaran, sistem-sistem yang kurang berguna, dan berakhir pada kesia-siaan. Bagaimana pendidikan Islam bisa bangun kalau pelaku-pelaku pendidikannyabelum bangun dan tersadarkan?
Kita (Umat Islam) saat ini telah tengah di medan Kuruksetra. Lawan berat kita pun persis seperti kejadian lima ribu tahun silam,[4] bukanlah orang asing. Musuh kita adalah orang-orang kitasendiri, bahkan diri kita sendiri. Pejabat birokrasi pendidikan yang korup, para agamamawan yang cenderung memecah belah umat, para pendidik yang memperjual-belikan pendidikan, dan kebanyakan umat – dalam kedudukannya sebagai peserta didik – yang tidak memperdulikan, tidak mau tahu, serta tidak lagi mempunyai antusias terhadap ilmu pengetahuan.
Bedanya, saat itu (Baratayudha) para penjahatnya dapat diidentifikasi dengan jelas, dan setelah terbasminya mereka kebajikan dapat ditegakkan kembali. Sekarang para penjahatnya tidak teridentifikasi, bila kita menggunakan Baratayudha untuk membasmi, jangan-jangan diri kita sendiri tidak luput dari pembasmian itu. Kita semua jahat, kejahatan ada di dalam diriku dan dirimu (diri kita), dan yang harus di basmi adalah kejahatan diri kita sendiri.
Dalam kegundahan dan kegelisahan Arjuna berucap, “Sekarang apa yang harus aku lakukan, Kresna?” Dibalik pertanyaan itu tersembunyi arogan Arjuna. Seolah-olah ia yang mempunyai kesadaran dan orang lain saja yang tidak sadar, sehingga ia berbuat sesuatu dengan penuh kesadaran. Ucapannya itu juga menunjukkan ketidak-berdayaannya itu, seakan-akan apa yang dilakukannya dapat menyelesaikan persoalan yang ada atau ia menganggap dirinya sebagai problem solver. Sungguh ego Arjuna yang sangat halus, lembut, dan barangkali tidak terdeteksi oleh para psikolog modern sekalipun. Kresna belum menjawab, ia harus menunggu cukup lama hingga Arjuna sadar dan kembali bertanya: where do I start from? Aku harus mulai dari mana? dan Kresna sudah siap dengan jawaban, “Dari dirimu sendiri”.
Berabad-abad setelah Kresna menasehati Arjuna tersebut, kita diingatkan juga oleh seorang Nabi Muhammad. Para sahabat yang berpulang dari perang Badar dan hendak merayakan kemenangan, ditegur oleh sang Nabi, bahwa perang yang usai itu baru perang kecil. “Lalu perang apa yang besar ya Rassullah?” Tanya para sahabat keheranan. “Perang melawan an-nafs”, jawab Rassullah. Perang melawan ketidak-sadaran kita, nafsu dan kehewaniaan dalam diri kita. Itulah jihad akbar (Perang Besar).
Bangkitlah Arjuna, bangkitlah satria-satria muslim, dan kebangkitan itu harus dimulai dari diri sendiri. Diriku dan dirimu, diri kita semua yang harus bangkit. Bila masing-masing mengurusi dirinya sendiri saja, maka Islam akan bangkit dan pendidikan Islam akan kembali jaya, demikian keyakinanku.[5]
Kebanyakan kita (Muslim) memang sudah provecient, menguasai begitu banyak hal, mahir dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, namun belum efficient. Kita belum mampu menerjemahkan ilmu dalam bentuk kerja nyata. Realisasi dari pengetahuan yang kita miliki belum banyak terlihat mata. Ilmu kita baru sampai pada pemahaman kognisi, tanpa aplikasi dan implementasi sia-sia semuanya.[6]
Keahlian dan kemahiran tidak bermakna bila belum teruji di lapangan saatada yang membutuhkannya. Tidak perlu melelahkan lidah Jawa, Batak, Sunda, dan apa pun suku bangsamu untuk mengeluarkan suara persis seperti orang Arab ketika membaca ayat-ayat Tuhan (al-Quran), karena yang terpenting adalah esensi dari apa yang kamu baca. Ayat-ayat suci juga bukanlah untuk diperlombakan (MTQ, Qori’, sari-tilawah, dan lain-lain), tetapi untuk dihayati dan dilakoni.
Kita sakit, dan penyakit itu khas Arjuna, yakni ketidak beranian untuk menghadapi situasi, hilangnya semangat dan antusias untuk selangkah menuju kemenangan. Janganlah berputus asa, jangan pula ragu dan pesimis. Arjuna bisa kembali bangun dan tersadarkan, kita pun harus bisa bangkit menyongsong kejayaan. Berhentilah memimpikan pendidikan Islam jaya, sudah saatnya untuk bangun dan berkarya demi mewujudkan impian tersebut.
[1] Kutipan tersebut merupakan ungkapan Arjuna dalam percakan pertamanya dengan kresna menjelang Baratayudha di Kuruksetra, yang juga awal dari isi Bagavad Gita. (lihat: Anand Krisna, Bagimu Ibu Pertiwi: Realisasi Nilai-Nilai Luhur Bagavad Gita Demi Kebangkitan Jiwa Indonesia, [Jakarta: PT. One Earth Media, 2005], hlm. 4 ).
[2] Arjuna dan saudara-sauadranya menjalani hidup dalam pengasimgan di hutan sebagai konsekuensi atas kekalahannya dalam permainan judi dengan Kurawa. Mereka menjalani hukuman itu selama ± 13 tahun.
[3] Dalam alur cerita Mahabarata dengan klimaks Baratyudhanya, nampak hubungan sangat erat yang terjalin antara Kresna dan Pandawa, terlebih dengan Arjuna. Disamping mereka sahabatan, ternyata Kresna masih kerabat dariibu para Pandawa (Dewi kunti). Lebih dari sekedar hubungan itu, ternyata Kresna memiliki misi lain dalam rangka membimbing dan menyiapkan para pemimpin masa depan yang kredibel, pemimpin yang selalu menegakkan keadilan serta mengutamakan darma rakyat dari kepentingan-kepentingan pribadinya.
[4] Perang Baratayudha di medan Tegal Kuruksetra terjadi tahun 3000 SM, maka jika ditarik mundur dari masa sekarang ini, peristiwa akbar itu berlangsung sekitar 5000 tahun silam. (Lihat: Anand Krisna, Op. Cit, hlm. 2).
[5] Keyakinan penulis itu berdasar pada firman Allah dalam QS. Al-Tahrim: 6, yang artinya wa al-Allah a’lam bi al-Showaf: “Jagalah dirimu sendiri dan keluargamu dari api neraka”. Ayat tersebut juga memberi sinyal pada kita, bahwa untuk bisa menjaga, mengatur, dan menyelamatkan keluarga (serta organisasi yang lingkupnya lebih besar dari keluarga), maka sebelumya orang tersebut harus bisa menjaga dan mengendalikan dirinya sendiri. Begitu juga mafhum mukhalafah-nya (pemahaman sebaliknya), orang tidak akan bisa mengatur keluarganya serta organisasi di atasnya jika belum bisa mengatur dirinya sendiri.
[6] Pemahaman itu senada dengan sabda Rasulullah: al-ilm bila amal ka syajar bila tsamar, yang artinya: “ilmu tanpa realisasi amal bagaikan pohon tanpa buahnya”. Keterangan itu jelas mendeskripsikan suatu keadaan yang sia-sia tanpa guna.
0 komentar:
Posting Komentar