Ijarah merupakan sarana kemasyarakatan yang identik dengan transaksi menyewakan suatu benda untuk diambil manfaatnya dengan imbalan dalam hal ini benda yang disewakan tidak berkurang kadarnya atas dasar saling merelakan. Dalam arti umum, sewa atau ijarah ialah suatu perikatan untuk memberikan suatu manfaat dari suatu benda, bukan memberikan kadar barangnya hanya manfaatnya saja yang diambil. Perikatan adalah akad yang mengikat kedua belah pihak. Tukar-menukar yaitu salah satau pihak menukarkan ganti penukaran atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain.[1]
Dalam Hukum Islam sewa menyewa diperbolehkan berdsarkan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 233:
و إن أردتم أن تسترضعوا أولادكم فلا جناح عليكم إذا سلّمتم ما آتيتم بالمعروف و اتّقوا الله و اعلموا أن الله بما تعملون بصير
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Baqarah : 233).
Dengan kelembutan hikmahnya, Allah telah menjadikan dunia ini sebagai tempat tinggal sekaligus ladang mata pencaharian, sebagai tempat mencari penghidupan sekaligus tempat kembali, dalam mencari mata pencaharian hendaklah dilakukan dengan cara yang benar.[2]
Sewa menyewa juga diperbolehkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
أعطوا الأجير أجره قبل أن يجفّ عرقه (رواه انب ماجه)
“Bayarlah buruh itu sebelum keringngatnya kering.”[3]
Terjadinya praktek sewa menyewa tidak bisa dilepaskan dari perjanjian yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sedang dalam perjanjiannya terdapat beberapa asas diantaranya asas konsensual yaitu hukum perjanjian sewa menyewa sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata sepakat mengenai barang yang disewakan. Sifat konsensual dari sewa menyewa tersebut ditegaskan dalam Pasal 260 KHEI yang berbunyi:
1. Peggunaan benda ijarahan harus dicantumkan dalam akad ijarah.
2. Jika penggunaan benda ijarah an tidak dinyatakan secara pasti dalam akad maka benda ijarahan digunakan berdasarkan aturan umum dan kebiassaan.[4]
Perjanjian yang dibuat berdasar pada kesepakatan awal dari kedua belah pihak. Manfaat yang diperjanjikan dapat diketahui secara jelas, kejelasan manfaat sewa menyewa dapat diketahui dengan cara mengadakan pembatasan waktu pembayaran barang.
Dalam setiap perjanjian juga harus memuat unsur-unsur perjanjian di dalamnya, unsur-unsur perjanjian tersebut diantaranya:
1. Adanya pertalian ijab dan qabul.
2. Dibenarkan oleh syara’.
3. Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya dan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.[5]
Setiap mu’amalah haruslah dilakukan secara adil dan tidak ada kezaliman, dalam praktek sewa menyewa kawin sapi ini terjadi suatu kezaliman meski tidak mengutarakan bentuk kezaliman tersebut. Terzhalimi karena dia tidak mendapatkan keadilan yang berupa haknya tidak terpenuhi dari pihak lain. Zhalim artinya tidak menimbulkan kerugian pada pihak lain, perlu diketahui bahwa menipu dalam sewa menyewa merupakan tindakan yang tercela, begitu pula dalam profesi lainnya.[6]
Perjanjian atau akad merupakan faktor yang sangat penting dalam sebuah transaksi, dimana dipandang tidak hanya dari zhahirnya saja akan tetapi batin akad juga perlu diperhatikan. Meskipun secara zhahir akad tersebut sah tetapi belum tentu dari segi batin, yang dimaksud dengan batin akad adalah keridaan ataupun kerelaan serta tidak adanya unsur keterpaksaan. Jika zhahir akad tidak sah maka secara otomatis batin akad tidaklah sah.[7]
Keridhaan dalam suatu transaksi sangat diperlukan, karena tanpa adanya keridhaan mustahil sewa menyewa ini dapat terlaksana. Transaksi juga baru dikatakan sah apabila didasarkan pada keridaan kedua belah pihak. Artinya, tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa terbebani, sehingga kehilangan keridhaanya, maka akad tersebut bisa batal.
Akan tetapi praktek sewa menyewa yang dilakukan oleh sebagian masyakat yaitu menyewakan sapi pejantan untuk dikawinkan dengan sapi betina dan pihak penyewa mengambil upah dari transaksi penyewaan tersebut, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Daud hal ini tidak diperbolehkan. Rasulullah Saw bersabda:
حدثنا مسدّد بن مسرهد أخبرنا إسماعيل بن الحكم عن نافع عن ابن عمر قال نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عن عسب الفحل
“Diriwayatkan dari Musaddad ibn Musarhad, mengabarkan kepada kita Isma’il ibn Khakam ibn Nafi’dari ibnu ‘Umar ia berkata: Rasulullah Saw melarang penyewaan mani hewan pejantan.”[8]
Berdasarkan hadits tersebut Rasulullah melarang penyewaan sapi pejantan untuk proses perkawinan karena yang diinginkan dari penyewaan tersebut adalah mani dari sapi pejantan itu sendiri.
Ada beberapa alasan sehingga hal ini dilarang:
1. Objek transaksi (yaitu, sperma pejantan) itu tidak bisa diserahkan, karena keluarnya sperma pejantan itu sangat tergantung dengan keinginan dan syahwat pejantan.
2. Objek transaksi (yaitu, sperma pejantan) itu memiliki kadar yang tidak diketahui jumlahnya.[9]
Larangan ini juga terdapat Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah bersabda:
عن أنس بن مالك أن رجلا من كلاب سأل النبي صلى الله عليه و سلم عن عسب الفحل فنهاه فقال يا رسول الله إناّ نطرق الفحل فنكرم له في الكرامة
“Dari Anas bin Malik, bahwasanya ada seorang dari Bani Kilab bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang upah sperma pejantan. Jawaban Nabi adalah melarang hal tersebut. Orang tersebut lantas berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami meminjamkan pejantan dengan cuma-cuma lalu kami diberi hadiah.” Nabi pun membolehkan untuk menerima hadiah”. (HR.Tirmidzi)[10]
Hadits di atas menjelaskan bahwa pengambilan upah atas penyewaan hewan pejantan tidak diperbolehkan, kecuali pemilik hewan betina memberi hadiah kepada pemilik pejantan itu diperbolehkan dengan alasan jika hadiah tersebut adalah sebagai kompensasi karena pemilik hewan betina telah dipinjami hewan pejantan dan itu tidak tertulis. Jika pemilik hewan pejantan diberi hadiah dan itu bukanlah uang sewa maka uang tersebut boleh diterima.[11]
Jika dilihat dari kaca mata agama maupun dari etika sewa menyewa yang ada, sewa menyewa dengan pemberian harga jelas akan menimbulkan keberatan yang kemudian menjadi ketidakikhlasan. Karena selain factor kepercayaan, nyatanya faktor keridhaan juga harus terpenuhi. Jadi semua itu harus dipenuhi oleh pelaku yang terlibat dalam praktek sewa menyewa yang ada.
Di dalam kitab Fathul Bari’, Imam Malik membolehkan penyewaan binatang pejantan seperti unta, sapi, dan hewan yang lain. Imam Malik membolehkan seseorang menyewakan binatang pejantanya untuk kawin beberapa kali, tetapi mazhab Hanafiyah dan madzhab Syafi’iyah melarangnya. Alasan Fuqaha yang melarang karena adanya larangan menyewakan binatang pejantan untuk dikawinkan dengan sapi betina, sedangkan fuqaha yang membolehkan menyamakan penyewaan binatang itu dengan manfaat yang lain, alasan ini dianggap lemah karena lebih menguatkan qiyas daripada riwayat.[12]
Jadi, praktek yang dilakukan oleh sebagian masyarakt itu tidak boleh kalau menggunakan akad sewa berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam Tirmidzi dan pendapat dari Madzhab Hanafiyah dan Syafi’iah karena yang diinginkan dari sewa tersebut adalah mani hewan.
Namun Imam Syafi’i memberikan solusi bahwa menyewa pejantan dapat dilakukan apabila sudah menjadi adat tetapi pemberian upah oleh penyewa atas dasar ungkapan terimakasih bukan sebagai imbalan sewa. Dengan demikian, praktek yang selama ini ada di sebagian masyarakat akan lebih sesuai jika menggunakan akad tabarru’, karena akad tabarru’ sendiri itu merupakan perjanjian yang tidak mencari keuntungan. Tetapi dalam akad ini pihak yang meminjami boleh memungut biaya hanya sekedar untuk mengganti biaya perawatan obyek yang akan dijadikan akad tabarru’ kepada pihak yang dipinjami.[13]
Seperti firman Allah surat al-Hadid ayat 11:
من ذا الذي يقرض الله قرضا حسنا فليضاعف له و له أجر كريم
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan Dia akan memperoleh pahala yang banyak”.
Dalam sebuah hadits:
عن ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه و سلم قال ما من مسلم يقرض مسلما قرضا مرتين إلاّ كان كصدقتها مرة (رواه ابن ماجه)
“Dari Ibnu Mas’ud ra, bahwa Nabi SAW bersabda: “Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada orang muslim lainnya sebanyak duakali pinjaman, melainkan layaknya ia telah menyedekahkan satu kali.”[14]
Setiap pelaku ekonomi Islam itu harus mementingkan agama dengan cara berniat baik tidak rakus untuk mendapatkan kekayaan orang lain, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, pekerjaannya dimaksudkan untuk melaksanakan salah satu fardlu kifayah, sebab jika pekerjaan ditinggalkan, kehidupan akan menjadi timpang dan tidak berjalan.
Kualitas dan kemampuan pekerja juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, latihan, motivasi, etos kerja, mental dan kemampuan teknis pekerja yang bersangkutan. Pendidikan memberikan pengetahuan bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan tugas, tetapi juga landasan untuk mengembangkan diri serta kemampuan memanfaatkan semua sarana yang ada di sekitar untuk kelancaran pelaksanaan kerja, semakian tinggi pendidikan maka semakin tinggi produktifitas.[15]
Islam adalah agama yang mudah, Hukum dapat berubah sesuai perubahan zamam, hukum Islam bersikap dan bersifat tegas dan jelas, namun bukan berarti bersifat kaku, maka keelastisannya dan kefleksibelannya teruji, karena hal tersebut tersentral pada terpeliharanya tujuan Syari'at yakni merealisasikan kemaslahatan umum, memberikan kemaslahatan dan menghindarkan semua bentuk kerusakan baik personal maupun kelompok, baik terhadap diri sendiri maupun bagi orang lain.
[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 68
[2] Al-Imam Asy- Syaikh Ahmad Bin Azdurrahaman Bin Qudama, Minhajul Qasidin, Terj. Kathur Suhandi, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. (13), 2007, hlm. 94.
[3] Muhamad bin Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, Juz III, Beirut: Daar al-Kutb al-Ilmiyah, 1988, hlm.6
[4] Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Op.Cit, hlm. 61
[5] Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 48
[6] Ibid., hlm. 204
[7] Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2006, hlm. 54.
[8] Imam Abu Daud, Syarah Sunan Abi Daud, juz 9, Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiah, hlm. 213
[9] Ibnu Hajar, Fatkhul Bari, Bairut: Daar Al-Fikr, t.th, hlm. 461
[10] A. Qadir Hasan Muhammad Hamidy dan Imron A.M Umar Fanany B.A, Terjemahan Nailul Authar, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983, hlm. 1651
[11] Ibnu Qadamah, Al-Mughni, Juz IV, Bairut, Daar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.th, hlm. 277
[12] Ibnu Hajar, Loc.Cit
[13] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004, hal 58
[14] Imam Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Barut Libanon: Dar Al-Kutubi Al-Ilmiah,t.t. hlm.249
[15] Affida M.S., Ekonomi Sumber Daya Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 38
0 komentar:
Posting Komentar