Hukum Memanggil Non-Muslim Sebagai Saudara
Pada beberapa kesempatan kita sering mendengar perkataan yang beredar di masyarakat yang mengatakan bahwa : “Kita semua bersaudara”. Padahal di situ bercampur antara muslim dan non-muslim. Atau dalam konflik SARA yang terjadi di beberapa daerah Indonesia, sering disebutkan bahwa masyarakat muslim dan non-muslim itu bersaudara. Atau dalam ungkapan basa-basi sejenis. Mungkin tujuan orang yang mengatakan itu adalah demi menjaga persatuan, etika kehidupan bermasyarakat, dan yang lainnya.
Pada kesempatan ini akan coba dituliskan dari apa yang telah dijelaskan oleh para ulama tentang permasalahan dimaksud ditinjau dari kaca mata syari’at.
Allah ta’ala telah berfirman :
إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (QS. Al-Hujuraat : 10).
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya ketika berkomentar tentang ayat tersebut menyebutkan beberapa hadits, diantaranya :
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه
”Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh mendhalimi dan membiarkannya (didhalimi)” [HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad].
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
”Allah akan terus menolong seorang hamba selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya”
إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك آمين ولك مثله
”Jika seorang muslim mendoakan saudaranya dari kejauhan, maka malaikat akan mengucapkan : Amin, dan bagimu sepertinya”
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتواصلهم كمثل الجسد الواحد, إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu bagian tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota badan akan merasa demam dan susah tidur”
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضاً - وشبك بين أصابعه صلى الله عليه وسلم
”Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya adalah seperti satu bangunan yang sebagian dengan sebagian yang lainnya saling menguatkan” Dan pada saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammenjalinkan jari-jemari beliau.
Imam Ahmad meriwayatkan, Ahmad bin Al-Hajjaj memberitahu kami, ‘Abdullah memberitahu kami, Mush’ab bin Tsabit memberitahu kami, Abu Hazim memberitahuku, ia berkata : Aku pernah mendengar Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhu menceritakan hadits dari Rasulullah shalallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda :
إن المؤمن من أهل الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد, يألم المؤمن لأهل الإيمان كما يألم الجسد في الرأس
”Sesungguhnya (hubungan) orang mukmin dengan orang-orang yang beriman adalah seperti (hubungan) kepala dengan seluruh badan. Seorang mukmin akan merasakan sakit karena orang mukmin lainnya sebagaimana badan akan merasa sakit karena sakit pada kepala” [Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Imam Ahmad].
[selesai perkataan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya 4/226].
Jika kita cermati, maka semua hadits shahih yang mengkhabarkan tentang hubungan persaudaraan – selain persaudaraan nasab – di atas, hanya diperuntukkan pada persaudaraan bagi sesama kaum muslimin.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di berkata ketika menjelaskan ayat di atas :
هذا عقد، عقده الله بين المؤمنين، أنه إذا وجد من أي شخص كان، في مشرق الأرض ومغربها، الإيمان بالله، وملائكته، وكتبه، ورسله، واليوم الآخر، فإنه أخ للمؤمنين، أخوة توجب أن يحب له المؤمنون، ما يحبون لأنفسهم، ويكرهون له، ما يكرهون لأنفسهم
“Yang demikian ini merupakan ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah ta’ala di antara orang-orang yang beriman, yaitu bahwa siapapun baik di belahan barat maupun timur yang di dalam dirinya terdapat keimanan kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, para Rasul-Nya, dan hari akhir; berarti dia itu saudara orang-orang mukmin. Persaudaraan yang mengharuskan orang-orang mencintainya sebagaimana mereka mencintai diri mereka sendiri, serta membenci hal-hal bagi mereka seperti mereka membencinya untuk diri mereka sendiri” [Taisir Karimir-Rahman fii Tafsiiril-Kalaamil-Manaan 7/133].
Al-Qurthubi menjelaskan :
أي في الدين والحرمة لا في النسب، ولهذا قيل: أخوة الدين أثبت من أخوة النسب، فإن أخوة النسب تنقطع بمخالفة الدين، وأخوة الدين لا تنقطع بمخالفة النسب.
“Yaitu persaudaraan dalam agama dan kehormatan, bukan dalam nasab. Oleh karena itu dikatakan : ‘Persaudaraan atas dasar agama itu lebih erat daripada persaudaraan karena hubungan nasab’. Sebab, persaudaraan karena hubungan nasab bisa terputus karena adanya perbedaan agama, tetapi persaudaraan atas dasar agama tidak akan terputus hanya karena perbedaan nasab” [Tafsir Al-Qurthubi 16/322-323].
Ayat beserta penjelasannya di atas jelaslah bagi kita bahwa persaudaraan hakiki yang dimaksud dikhususkan bagi sesama muslim. Bukan dengan non-muslim. Hal yang menguatkan pernyataan tersebut adalah firman Allah ta’ala :
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصّلاَةَ وَآتَوُاْ الزّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدّينِ وَنُفَصّلُ الاَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka (mereka adalah) saudara-saudaramu seagama” [QS. At-Taubah : 11].
Sifat bertaubat, mendirikan zakat, dan menunaikan zakat adalah sifat yang dimiliki oleh orang-orang muslim. Dengan itulah mereka dikatakan Allah saling bersaudara. Adapun orang-orang yang tidak mempunyai sifat-sifat tersebut (baca : kalangan non-muslim), maka dia bukanlah termasuk saudara kita dalam agama; dan itu telah jelas.
Allah juga berfirman :
ادْعُوهُمْ لاَبَآئِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ فَإِن لّمْ تَعْلَمُوَاْ آبَاءَهُمْ فَإِخوَانُكُمْ فِي الدّينِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama” [QS. Al-Ahzaab : 5].
Sebutan saudara kepada sesama muslim adalah sebagai dasar penanaman rasa kecintaan dan loyalitas kepadanya. Rasa kecintaan dan loyalitas ditiadakan bagi orang kafir/non-muslim. Bukankah Allah telah melarang kita untuk mencintai dan berkasih sayang terhadap mereka walau mereka adalah saudara-saudara nasab kita sebagaimana firman-Nya :
لاّ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ يُوَآدّونَ مَنْ حَآدّ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوَاْ آبَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara atau keluarga mereka” [QS. Al-Mujaadalah : 22].[1]
Tanbih !!
1. Dengan pernyataan di atas (yaitu kita tidak boleh mencintai orang kafir/non muslim) bukan berarti kita tidak boleh bermuamalah secara mutlak dan boleh berbuat dhalim kepada mereka. Kita tetap dilarang melakukan kedhaliman apapun tanpa haq dan diperintahkan untuk berlaku ‘adil, imma kepada kaum kuffar. Allah telah berfirman :
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarangkamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” [QS. Al-Maidah : 8].
2. Sebagian kalangan yang membolehkan menyebut Saudara kepada kaum kuffar (Ahli Kitab), sering membawakan dalil doa yang diucapkan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam setiap usai shalat :
اللهم ربنا ورب كل شيء أنا شهيد انك أنت الرب وحدك لا شريك لك ربنا ورب كل شيء أنا شهيد ان محمدا عبدك ورسولك ربنا ورب كل شيء أنا شهيد ان العباد كلهم إخوة
Ya Allah, ya Rabb kami, dan Rabb yang menguasai segala sesuatu dan yang merajainya. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa Engkau Allah satu-satunya, tiada sekutu bagi-Mu. Ya Allah, ya Rabb kami, Rabb yang menguasai segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi, bahwa Muhammad itu adalah hamba-Mu dan Rasul-Mu. Ya Allah, ya Rabb kami, Rabb yang menguasai segala sesuatu dan merajainya, aku bersaksi bahwa hamba secara keseluruhan adalah bersaudara”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya 4/369 no. 19312, Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 1508) dan yang lainnya. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth berkata : ”Isnadnya dla’if karena kedla’ifan perawi yang bernama Dawud Ath-Thafawi. Ia adalah Ibnu Raasyid. Ibnu Ma’in berkata : Laisa bi-syai’ (tidak ada apa-apanya). Al-’Uqaili menyebutkannya dalam Adl-Dlu’afaa : Hadits bathil yang tidak ada asalnya” [selesai perkataan Al-Arnauth].
Selain kedla’ifan Dawud bin Rasyid Ath-Thafawi, pembicaraan hadits ini juga ada pada Abu Muslim Al-Bajaly. Tidak ada yang men-tsiqah-kannya kecuali Ibnu Hibban saja. Asy-Syaikh Al-Albani juga mendla’ifkannya dalam Dla’if Sunan Abi Dawud (hal. 113-114).
3. Mereka yang membolehkan menyebut kaum kuffar sebagai Saudara berdalil dengan beberapa ayat dalam Al-Qur’an dimana Allah menyebutkan bahwa sebagian Nabi merupakan saudara bagi kaum mereka.
Maka jawaban atas hal ini adalah : Penyebutan ”Saudara” antara Nabi dengan kaumnya itu disebabkan karena hubungan nasab. Nabi diutus Allah kepada kaumnya bukanlah orang asing di antara mereka, melainkan masih mempunyai hubungan kekerabatan. Boleh hukumnya menyebut Saudara jika memang disebabkan adanya hubungan kekerabatan. Namun jika dimutlakkan terhadap semua orang kafir, maka ini adalah haram. Al-Alusi mengatakan : ”Makna Nabi sebagai saudara mereka adalah bahwa Nabi itu secara garis keturunan memang bagian dari mereka. Yang demikian itu pendapat mayoritas para ahli nasab” [Ruuhul-Ma’ani 8/154].
Kesimpulan : Kita tidak diperbolehkan menyebut orang non-muslim sebagai saudara kita. Hanyalah kaum muslimin saja yang saling bersaudara dan mencintai. Akan tetapi kita diperbolehkan menyebut “saudara” kepada orang non-muslim yang masih mempunyai hubungan nasab dengan kita. Allaahu a’lam.
[1] Terkait dengan ayat tersebut, Ibnu Hajar menjelaskan :
ثم البر والصلة والإحسان لا يستلزم التحابب والتوادد المنهي عنه في قوله: لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ الآية فإنها عامة في حق من قاتل ومن لم يقاتل والله أعلم. ا هـ.
”Selanjutnya berbuat baik, berhubungan, dan berbuat ihsan tidaklah melazimkan untuk saling mencintai dan saling berkasih sayang dengan mereka sebagaimana telah dilarang dalam firman-Nya : 'Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya' (QS. Al-Mujaadalah : 22). Sesungguhnya ayat ini umum terhadap siapa saja yang memerangi orang Islam atau tidak.Wallaahu a’lam [selesai – Fathul-Bari 5/233, melalui perantaraan Al-I’lam bi-Naqdi Kitaab Al-Halaal wal-Haraam fil-Islaam oleh Ibnu Fauzan, hal. 6; Maktabah Al-Misykah].
Sumber : Abuljauza.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar