Dari sudut yang sangat luas keluarga merupakan produk struktur sosial. Manusia tidaklah dapat hidup sendiri atau dengan keluarganya saja melainkan pada hakekatnya merupakan satu ikatan yang mencakup seluruh manusia dalam naluri kebersamaan. Walaupun mungkin manusia itu dengan desakan-desakan egoisnya serta kecenderungan hati menjadikan manusia hanya mementingkan diri sendiri.
Struktur kemasyarakatan tak bisa kita abaikan walaupun kita menjunjung tinggi keluarga tanpa memperhatikan fungsi hubungan kita dengan masyarakat luar keluarga. Dalam lingkungan masyarakat kepribadian akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan masyarakat. Dengan demikian perlu menciptakan lingkungan yang harmonis pada lingkungan masyarakat.
Untuk menciptakan lingkungan yang harmonis pada masyarakat, tentunya kita harus terlebih dahulu mewujudkan lingkungan yang harmonis pada lingkungan keluarga. Kita tahu bahwa kualitas rumah tangga atau kehidupan keluarga, sangat berperan penting dalam membentuk kepribadian anak menuju pada keseimbangan batin dan kesehatan mental. Agar keluarga yang dibentuk itu menjadi keluarga yang dalam istilah al-Qur'an disebut sebagai keluarga yang diliputi rasa cinta-mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah) maka, keluarga harus diciptakan untuk memenuhi fondasi seperti yang disebutkan hadist Nabi.
Kelima fondasi yang harus dibina atau diciptakan dalam lingkungan keluarga itu adalah:
1. Memiliki sikap ingin menguasai dan mengamalkan ilmu-ilmu agama.
2. Yang lebih muda menghormati yang lebih tua.
3. Berusaha memeperoleh rezeki yang memadai
4. Hemat dalam membelanjakan harta
5. Mampu melihat segala kekurangan dan kesalahan diri dan segera bertaubat.[1]
Tidak bisa dipungkiri bahwa keluarga yang harmonis tidak selamanya stabil. Maksudnya, dalam sebuah keluarga tentu saja tidak selamanya berjalan lurus-lurus saja tapi juga akan ada badai. Setiap subjek keluarga harus mengerti tugas dan peranannya yang sesuai dengan kedudukanya baik itu kedudukan sebagai suami, isteri maupun anak.
Hubungan dalam keluarga yang harmonis dan serasi merupakan unsur mutlak terciptanya kebahagiaan hidup dan ketenangan jiwa. Di dalam al-Qur’an sebagai dasar dan sumber ajaran Islam banyak ditemui ayat-ayat yang berhubungan dengan kesenangan dan kebahagiaan jiwa. Banyak hal yang prinsipil dalam kesehatan mental. Salah satu ayat tentang ketenangan jiwa sebagai berikut:
هو الذي أنزل السكينة في قلوب المؤمنين ليزدادوا إيمانا مع إيمانهم و لله جنود السموات و الأرض و كان الله عليما حكيما
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana. (Qs. al-Fath: 48:4)
Namun, orang-orang yang hidup dalam keterpaksaan mereka tidaklah menjalankan fungsi mental yang lebih tinggi untuk mengakui penciptaan dan menyalah-gunakan kebebasan, pilihannya dengan mengingkarinnya, berada dalam konflik mental. Konsekuensi yang tak terelakkan dari konflik ini adalah kegagalan mencapai ideal-ideal puncak kehidupan mereka. Personalitas mereka menjadi terpecah belah dan kesehatan mereka menjadi hancur. Islam tidak menganggap kesehatan mental semata-mata sebagai tiadanya gejala-gejala penyakit, tetapi juga menekankan aspek-aspek positif yang dengan kesehatan mental dapat dijaga dan di perbaiki.
Dahulu orang beranggapan, terutama orang Barat yang sekularistik-materialistik, bahwa, menghadapi kesulitan hidup cukup dengan badan sehat, mental sehat, dan misi yang aktif dan dinamis. Tetapi kenyataanya berkata lain, setelah mereka sampai pada kondisi puncaknya, ternyata mereka merasa kehilangan sesuatu yang menjadikan kehidupan mereka hambar. Mereka sadar bahwa budaya glamour yang gemerlap itu hanya kenikmatan sesaat, yaitu kenikmatan yang membawa problem semakin canggih.
Disana angka kejahatan, angka neorosis dan angka kecanduan narkotik terus meningkat. Anak-anak dan remaja belajar mengadaptasikan diri dalam lingkungan familiar dan tetangga dekat dengan ide-ide dan teknik tertentu yang dianggap efisien untuk menghadapi kesulitan batin sendiri. Jika lingkungan keluarga ini sangat buruk (immoril, jahat, kriminil) dan tidak higienis secara mental, dengan sendirinya berlangsung asosiasi differensial yang buruk, dan immoril pula dengan masyarakat orang dewasa, lalu mereka ikut-ikutan menjadi buruk perangai dan tidak sehat mentalnya.[2]
Ringkasnya, situasi keluarga yang berantakan, penuh konflik, immoril dan asusila, di tambah dengan pengabaian orang tua terhadap anak-anaknya membuat anak-anak ini menjadi sengsara lahir-batin. Sebenarnya keluarga ini telah kehilangan satu faktor yang penting dalam budaya hidupnya, yaitu faktor “Sakinah”.
[1] Thohari Musnamar, Dasar-dasar Konseptual Bimbingan dan Konseling Islami, Yogyakarta: UII Press, 1992, hlm. xiii
[2] Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Bandung: Mandar Maju, 1989, hlm. 172
0 komentar:
Posting Komentar