Assalamu’alaikum wr.wb.
Saya telah menjadi tarekat Naqsyabandiyah Muzhariah di Pontianak setengah tahun yang lalu (sekarang saya tinggal di Surabaya). Akan tetapi, akhir-akhir ini setelah saya sering berdiskusi dengan beberapa teman-teman saya yang tidak menyetujui ajaran tasawuf dan juga setelah membaca beberapa buku yang menentang tasawuf dan ayat-ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang cara dzikir yang ternyata tidak sejalan dengan yang diamalkan beberapa tarikat.
Saya juga membaca silsilah hadits dhaif dan maudhu saya menemukan banyak hadits-hadits yang digunakan imam Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin ternyata banyak yang dhaif. Mohon dijelaskan. Wassalam.
Teguh
Adimartayayangimutdeh@yahoo.com
Rasulullah mengajarkan dzikir tarekat sufi tidak kepada semua sahabatnya. Karena itu hadits–hadits mutawatir tidak mengungkapkan bacaan-bacaan zikir khususnya. Kenapa? karena soal tasawuf adalah dunia hakikat, sebagaimana pernah diungkapkan oleh ibnu Abbas r.a “aku diberi ilmu oleh Allah, jika sebagian saya jelaskan justru saya akan dikafirkan”.
Rasulullah mengajarkan dzikir dan do’a kepada pubklik umum, lalu dikenal dengan do’a-do’a ma’tsurat. Semua ummat bisa mengamalkannya. Tetapi untuk dzikir tarikat ada yang diberikan kepada jamaah khusus, ada pula yang individual.
Yang penting kalau kita membaca kitab-kitab tasawuf, toh tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan as-Sunnah, justru kitab-kitab itu menjelaskan kedalaman al-Qur'an dan asunnah. Bagi mereka yang memahami Qur’an dan sunnah dari segi nash atau teksnya saja, pasti akan sulit menerima karena memang tidak bisa memahami. Untuk memahami kedalamannya butuh kemampuan nahwu, shorof, balaghah, nushus, adab (sastra) dan seluruh maqosidul udzma (tujuan agung dibalik ayat dan sunnah) itu.
Saat ini banyak kalangan khususnya generasi muda Islam yang hanya berbekal semangat Islam, lalu mengklaim bahwa mereka telah mampu menerjemahkan dan menafsirkan al-Qur'an dan as-sunnah terutama jika menunjuk pada karya-karya orang-orang pemikir Islam arab mutakhir yang condong pada radikalisme dan semangat tekstualisme jika mereka sudah berangkat dengan apreori maka akan memproduksi pandangan yang serba apreori pula.
Anda tidak perlu kawatir, sebab para imam Mujathidin, Maliki, Hanafi, Safi’i, Hambali, Sufyan atz-Tsaury, dan seluruh ulama salaf yang wara’. Shahih, pun mereka menerima tarekat sufi dan mengamalkannya. Ada sebagian fuqoha yang menolak seperti ibnyu Taymiyah. Tapi anehnya murid Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayim al-Jauziyah justru menjadi pemuka kalangan sufi.
Para ulama dulu, khususnya fuqoha, bahkan mufassir saja masih ada yang kurang paham terhadap tasawuf ulama salaf, apalagi kawan-kawan anda yang menerima informasi keislaman dari larutan dan sejumlah pikiran keruh muthahir. Mengenai hadits-hadits dhaif ataupun maudlu yang dituduhkan kepada imam Ghazali, memang, menurut standar ilmu hadits sejumlah riwayat hadits tersebut dhaif (lemah). Tetapi ahli hadits dan ulama juga sepakat, walaupun ada hadits dhaif, kalau isinya merupakan anjuran kebajikan sudah seharusnya dipakai. Dan seluruh hadits yang dikutip oleh imam Ghazali, semuanya merupakan anjuran kebajikan. Dan larangan terhadap kejahatan dan kemungkaran. Walaupun ada hadits menilai dhaif toh tidak satu pun hadits itu yang bertentangan dengan al-Qur'an dan sunnah nabi.
Kenapa? Kalau kita teliti kembali, para muhadisin pun, menggunakan metode penelitian ilmu hadits, yang kemudian muncul ketegorisasi seperti shahih, hasan, dhaif, mutawatir, ahad, al-Jarhu wat ta’dil dan sebagainya adalah metode ijtihadiyah. Artinya, kebenarannyapun juga relatif, sebagaimana produk ijtihad para ulama mujtahidin. Jadi, hanya sebagai standar belaka untuk menentukan metode tersebut gara tidak terjadi konflik, polemik dan mendapatkan standar yang mendekati kebenaran.
Itu juga berarti, bisa saja terjadi, hadits yang di nilai hasan malah shasih atau sebaliknya, yang dhaif bisa saja juga shahih. Jadi, anda tidak perlu lagi meragukan thariqat anda.
*Dikutip dari Majalah POSMO edisi Edisi 279*
0 komentar:
Posting Komentar