Di antara para mujaddid (pembaru) tersebut adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi Al-Hanbali. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melimpahkan rahmat-Nya yang luas dan menempatkan beliau di dalam surga-Nya.
Beliau adalah Syaikhul Islam Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Al-Khadhir bin Muhammad bin Al-Khadhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani. Nasab beliau berujung pada kabilah ‘Arab Qaisiyah dari Bani Numair bin ‘Amir bin Sha’sha’ah dari Qais ‘Ailan bin Mudhar. Adapula yang mengatakan dari Bani Sulaim bin Manshur dari Qais ‘Ailan bin Mudhar.1
Ulama besar, penghancur bid’ah, mujaddid dan mujahid yang agung ini -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati beliau- dilahirkan pada hari Senin, tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H di desa Harran, sebuah desa yang terletak di antara Syam (mencakup Palestina, Suriah, Jordania, dan Lebanon) dan Irak, sebelah tenggara Turki sekarang. Beliau lahir di saat mulai meletusnya gelombang ekspansi bangsa Mongol (Tartar) ke beberapa wilayah sekitarnya termasuk Timur Tengah. Bangsa ini, yang disatukan kembali oleh Jenghis Khan tidak hanya menjarah daratan Cina, tapi juga menyerang Timur Tengah bahkan sampai ke seberang lautan (sampai ke Indonesia).
Allah Subhanahu wa Ta’ala betul-betul menguji umat ini dengan memunculkan bangsa ini. Mereka adalah para penyembah berhala. Ibnul Atsir rahimahullahu mengatakan: ‘Mereka sujud kepada matahari ketika dia terbit, tidak mengharamkan apapun. Mereka melahap semua binatang termasuk anjing dan babi serta yang lainnya. Tidak mengenal nikah… dan seterusnya.’ Tetapi belakangan, banyak dari mereka yang masuk Islam.
Di masa itu juga, perang salib masih berlangsung. Sehingga berbagai kejadian ini menimbulkan pengaruh dan menumbuhkan kecemburuan luar biasa pada diri beliau. Betapa menyedihkan melihat bekas-bekas kehancuran akibat serangan Tartar.
Syaikhul Islam lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga mulia yang diberkahi. Keluarga yang sarat dengan ilmu dan keutamaan. Kakek beliau Abul Barakat Majduddin adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan mazhab Hanbali. Ayahandanya, Syihabuddin ‘Abdul Halim termasuk tokoh ulama pembawa petunjuk. Seolah-olah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mempersiapkan kemuliaan beliau di dunia dan akhirat.
Pada usia enam tahun, di saat agresi Bangsa Tartar mulai terasa di wilayah Timur Tengah, bahkan sudah mendekati wilayah Harran, beliau dibawa oleh keluarganya pindah ke wilayah Syam bersama saudara-saudaranya yang lain. Mereka berangkat di malam hari sambil membawa buku-buku yang diletakkan di atas gerobak karena tidak mempunyai kendaraan lain.
Dalam kondisi demikian, mereka hampir tersusul oleh musuh. Gerobakpun berhenti. Mereka ber-ibtihal (berdoa), meminta pertolongan (istighatsah) kepada Allah Yang Maha Perkasa hingga merekapun selamat dan lolos dari kejaran musuh. Pada pertengahan tahun 667 H, tibalah mereka di Damaskus.
Mengapa beliau dikenal dengan Ibnu Taimiyah’
Suatu ketika, kakek beliau berangkat menunaikan ibadah haji dalam keadaan istrinya yang ditinggal sedang mengandung. Setibanya di Taima’, sang kakek melihat seorang bocah perempuan keluar dari sebuah tenda. Begitu tiba di Harran, sepulangnya dari ibadah haji, beliau mendapati istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan. Ketika melihat bayi tersebut, beliau berkata: ‘Wahai Taimiyah, wahai Taimiyah.’ Akhirnya keluarga ini dikenal dengan nama tersebut.
Penulis lain mengatakan bahwa kakek beliau Muhammad bin Al-Khadhir, ibunya bernama Taimiyah, seorang wanita yang suka memberi nasihat, sehingga mereka dinisbahkan kepadanya.
Akhlak dan Kepribadiannya
Syaikhul Islam Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah rahimahullahu, tumbuh dalam pengawasan sempurna, sikap ‘iffah (menjaga kehormatan), ketergantungan dan pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sederhana dalam berpakaian dan makanan.
Kulitnya putih, dengan rambut dan janggut hitam serta sedikit beruban. Rambut beliau sampai menyentuh ujung telinga beliau. Kedua matanya bersinar-sinar seolah-olah dua buah lisan yang sedang berbicara. Perawakannya sedang, dadanya bidang. Suaranya besar, fasih, sangat cepat membaca dan tajam, tapi beliau tekan dengan sifat santun yang dimilikinya.
Keutamaannya sudah tampak sejak kecilnya. Diceritakan oleh Al-Bazzar dalam A’lamul ‘Aliyyah, setiap kali hendak menuju tempat belajarnya, Ibnu Taimiyah dihadang oleh seorang Yahudi dengan sejumlah pertanyaan karena melihat kecerdasannya yang luar biasa. Semua pertanyaan itu dijawab dengan cepat oleh Ibnu Taimiyah. Bahkan beliau menjelaskan kepada Yahudi itu kebatilan yang diyakininya selama ini. Tidak lama setelah mendengarkan keterangan dari beliau setiap kali mereka bertemu, Yahudi itupun masuk Islam dan baik Islamnya.
Seiring dengan kemasyhuran beliau dalam ilmu dan fiqih, amar ma’ruf nahi munkar, Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan pula kepada beliau berbagai perilaku yang terpuji, hingga beliau dikenal bahkan dipersaksikan oleh manusia tentang keadaan ini.
Di rumah, beliau sangat santun. Ash-Shafadi mengisahkan dalam Al-Wafi bil Wafayat (2/375): ‘Diceritakan kepadaku, bahwa ibunda Syaikhul Islam pernah memasak makanan sejenis labu tetapi rasanya pahit. Mulanya dicicipi oleh ibunda beliau. Ketika merasakan pahitnya, dia meninggalkan makanan itu sebagaimana adanya. Suatu ketika, Syaikhul Islam menanyakan adakah sesuatu yang dapat dimakan’ Ibunya menceritakan bahwa tadi dia memasak makanan tetapi rasanya pahit. Syaikhul Islam menanyakan letak makanan itu. Sang ibu menunjukkan tempatnya dan beliaupun duduk menyantap makanan itu sampai kenyang, tanpa mencelanya sedikitpun.’
Demikianlah tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ، إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِلاَّ تَرَكَهُ
‘Tidaklah pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela satu makanan sama sekali. Kalau beliau suka, beliau menyantapnya dan bila tidak, beliaupun meninggalkannya.’
Keadaan-keadaan di mana Syaikhul Islam hidup di dalamnya, membuktikan bahwa beliau senantiasa dalam keadaan berhias dengan keyakinan dan musyahadah yang menumbuhkan rasa sangat butuh, terjepit, penghambaan, dan inabah (senantiasa kembali).
Diceritakan oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, bahwasanya pernah Ibnu Taimiyah mengalami kesulitan dalam sebuah masalah, atau sulit memahami satu ayat. Beliau lalu datang ke sebuah tempat yang sepi di masjid, lalu mencecahkan keningnya di atas tanah (sujud) seraya berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala berulang-ulang: ‘Wahai (Allah) Yang Mengajari Ibrahim, pahamkanlah diriku.’
Syaikhul Islam juga pernah menceritakan: ‘Sungguh, pernah ada sebuah masalah atau keadaan yang mengganggu pikiran saya. Lalu saya istighfar (memohon ampun) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih kurang seribu kali, hingga dada saya terasa lapang dan lenyaplah problem yang saya hadapi.’
Hal ini beliau lakukan di pasar, masjid, ataupun madrasah.
Beliau memiliki keistimewaan sendiri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika malam sudah mulai larut, beliau menyendiri, berduaan dengan Rabbnya k dengan penuh ketundukan. Tubuhnya bergetar ke kiri dan ke kanan jika mulai tenggelam dalam shalatnya. Apabila selesai shalat fajar, beliau duduk sampai matahari naik tinggi, dan mengatakan: ‘Inilah sarapan pagiku. Kalau aku tidak menyantapnya, hilanglah kekuatanku.’
Kezuhudan dan kerendahan hatinya luar biasa. Beliau selalu mengulang-ulang ucapannya: ‘Saya tidak punya apa-apa. Tidak ada sesuatu yang berasal dari saya. Dan tidak ada apa-apa pada diri saya.’
Jika ada yang memuji beliau di hadapannya, beliau hanya mengatakan: ‘Demi Allah, saya sampai saat ini masih terus memperbarui keislaman saya, setiap waktu. Dan saya merasa belum pernah masuk Islam sebelum ini dengan keislaman yang baik.’
Beliau selalu mengatakan:
Aku hanyalah pengemis, putra pengemis,
demikianlah ayah dan kakekku
Ibnul Qayyim rahimahullahu menukil sebuah ucapan beliau tentang ketakwaan: ‘Orang yang arif (bijak), tidak akan memandang dia punya hak yang harus dipenuhi orang lain. Tidak pula mempersaksikan keutamaan dirinya atas orang lain. Karena itulah dia tidak pernah mencela, menuntut, dan tidak pula memukul.’
Pernah suatu kali beliau diisukan akan merebut kekuasaan Raja Nashir. Ketika dipanggil di hadapan orang banyak, beliau ditanya oleh Raja Nashir: ‘Aku dengar orang banyak menaatimu, dan engkau sedang memikirkan rencana untuk menguasai kerajaan ini”
Mendengar hal ini, dengan suara lantang dan didengar seluruh yang hadir ketika itu Syaikhul Islam berkata: ‘Saya melakukan hal itu’ Demi Allah. Sungguh, kerajaan anda dan kerajaan Moghul (Tartar) tak ada nilainya sepeserpun bagi saya.’2
Ibnu Katsir rahimahullahu, salah seorang murid yang mencintai beliau, menceritakan:
Baginda Sultan An-Nashir Al-Qalawun (wafat 741 H), ketika kembali ke kerajaannya untuk kedua kalinya, keinginan kuatnya yang pertama adalah bertemu dan melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu.
Setelah keduanya bertemu, mereka berpelukan, kemudian berbincang-bincang. Di antara pembicaraan mereka, Sultan An-Nashir meminta Syaikhul Islam mengeluarkan fatwa agar dia menangkap dan menghukum mati beberapa orang qadhi (hakim) yang pernah menjelek-jelekkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan Sultan An-Nashir mendesak beliau mengeluarkan fatwa itu.
Hal itu karena Sultan sangat marah kepada mereka yang menggulingkannya serta membai’at Al-Jasyinkir. Setelah berhasil membunuh Al-Jasyinkir dan menumpas beberapa tokoh yang terlibat, termasuk Nashr Al-Munbaji, Sultan bertekad menangkap pula beberapa qadhi dan ahli fiqih yang loyal kepada Al-Jasyinkir, yang beberapa kali mengeluarkan fatwa untuk membunuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Bagi Sultan, ini merupakan kesempatan melampiaskan kejengkelannya kepada mereka.
Tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sangat tanggap. Beliau justru memberikan penghormatan besar kepada para qadhi dan ulama tersebut. Beliau jelaskan kepada sultan tentang kedudukan dan keutamaan mereka. Bahkan beliau mengingkari munculnya ucapan-ucapan buruk terhadap mereka. Kata beliau kepada Sultan: ‘Jika Baginda membunuh mereka ini, niscaya Baginda tidak akan menemukan lagi sesudah mereka, tokoh-tokoh seperti mereka. Adapun mereka yang menyakiti saya, maka dia halal (tidak saya tuntut apapun, ed.), dan saya tidak akan berusaha mencari pembelaan untuk diri saya.’
Demikianlah sikap seorang muwahhid, dalam prinsip al-wala’ wal bara’ (cinta dan benci). Semua sikap al-wala’ dan al-bara’ ini hanya berhak ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak sepantasnya seseorang mengikat prinsip ini untuk kepentingan dirinya, tokoh atau kelompoknya semata.
Diceritakan pula oleh Ibnu ‘Abdil Hadi, ketika Syaikhul Islam di Mesir dan disakiti oleh musuh-musuhnya, datanglah sepasukan orang-orang Al-Husainiyah. Mereka meminta izin beliau untuk menangkap dan membunuh orang-orang yang menyakiti beliau. Kalau perlu dan diizinkan, mereka siap meratakan negeri Mesir dengan tanah.
Tapi Syaikhul Islam menjelaskan bahwa hal itu tidak halal. Mereka membantah: ‘Apakah yang dilakukan mereka terhadap engkau itu halal”
Syaikhul Islam menegaskan bahwa dia tidak akan berupaya mencari pembelaan untuk pribadinya.
Perhatikan pula perkataan Ibnu Makhluf, seorang qadhi Malikiyah, salah seorang seteru beliau, yang pernah memerintahkan agar Syaikhul Islam dipenjara: ‘Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Ibnu Taimiyah. Di saat dia berkuasa terhadap kami, dia justru melimpahkan kebaikan. Sedangkan kami, ketika kami berkuasa terhadapnya, kami justru berbuat jelek serta melakukan makar terhadapnya.’
Kehidupan Ilmiah
Hari-hari beliau sarat dengan ilmu. Belajar dan mengajar dari satu majelis ke majelis lainnya sampai di dalam penjara. Fatwa-fatwa dan risalah beliau selalu diharapkan meskipun beliau mendekam dalam penjara.
Sejak kecil sudah nampak kesungguhannya dalam belajar. Terlebih lagi Allah Subhanahu wa Ta’ala menganugerahkan kepadanya kekuatan hafalan dan sifat sulit lupa. Sehingga apa yang dibacanya sekali sudah terpatri dalam ingatannya, baik lafadz maupun maknanya.
Al-Imam Abu Thahir As-Sarmari menyebutkan dalam majelis ke-67 dari majelis imlaknya tentang dzikir dan al-hifzh: ‘Di antara keajaiban-keajaiban kekuatan hafalan (hifzh) di zaman kita ini adalah Syaikhul Islam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim Ibnu Taimiyah. Karena beliau pernah melihat sebuah kitab lalu membacanya satu kali, saat itu juga isi kitab itu telah tercetak di dalam benaknya. Kemudian dia mengulang-ulang dan menukilnya dalam tulisan-tulisannya secara tekstual atau makna.
Bahkan lebih menakjubkan lagi yang pernah saya dengar tentang beliau adalah kisah yang diceritakan sebagian sahabatnya ketika beliau masih anak-anak. Ayahnya ingin membawa anak-anaknya rekreasi ke sebuah taman, lalu beliaupun berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Hai Ahmad, engkau berangkat bersama saudara-saudaramu untuk bersantai.’ Tapi Ibnu Taimiyah memberi alasan kepada ayahandanya, sedangkan ayah beliau terus mendesak. Syaikhul Islam tetap menolak: ‘Saya ingin ayah memaafkan saya untuk tidak keluar.’
Akhirnya sang ayah meninggalkannya dan berangkat bersama saudara-saudara beliau yang lain. Mereka menghabiskan hari itu di taman tersebut, dan kembali menjelang sore.
Setelah tiba di rumah, sang ayah berkata: ‘Hai Ahmad, engkau telah membuat saudaramu kesepian dan menodai kegembiraan mereka dengan ketidakhadiranmu bersama mereka. Mengapa??
Beliau menjawab: ‘Wahai ayahanda, sesungguhnya hari ini tadi, ananda sudah menghafal kitab ini.’ Beliau menunjukkan sebuah kitab di tangan beliau.
Sang ayah terkejut, kagum dan tidak percaya: ‘Engkau sudah menghafalnya?? Lalu beliau berkata kepada Syaikhul Islam: ‘Bacakan kitab itu kepadaku.’
Syaikhul Islam membacakannya, dan ternyata beliau memang telah menghafal isi kitab itu seluruhnya. Sang ayah segera mendekap dan mencium keningnya seraya berkata: ‘Wahai anakku, jangan engkau ceritakan kepada siapapun apa yang telah kau lakukan.’ Demikian katanya karena khawatir ‘ain (mata hasad) menimpa putranya tersebut.’
Ibnu ‘Abdil Hadi menyebutkan pula, ada seorang syaikh dari Halab datang ke Damaskus dan mendengar berita tentang seorang anak yang sangat cepat hafalannya bernama Ahmad bin Taimiyah. Dia ingin melihat anak tersebut. Setelah ditunjukkan jalan yang biasa dilalui Ibnu Taimiyah ke tempat belajarnya, syaikh itupun duduk menanti. Tak lama kemudian, datanglah Ibnu Taimiyah membawa batu tulis besar. Syaikh itu memanggilnya dan melihat batu tulis itu lalu meminta agar Ibnu Taimiyah menghapus tulisan yang ada kemudian menuliskan apa yang didiktekannya.
Ada belasan hadits yang didiktekan, kemudian syaikh itu memerintahkan beliau membacanya lalu menyetorkan apa yang dibacanya tadi. Syaikhul Islam segera menyetorkannya kepada syaikh itu apa yang dibacanya dari batu tulis itu.
Kemudian syaikh itu mendiktekan beberapa sanad lalu memerintahkan beliau membacanya. Setelah itu syaikh itu memerintahkannya agar menyetorkan apa yang dibacanya di atas batu tulis itu.
Setelah itu, syaikh tadi bangkit berdiri dan mengatakan bahwa kalau anak ini panjang umur, urusannya sangat besar di masa mendatang. Karena belum pernah ada yang seperti dia kekuatan hafalannya.
Guru dan Murid Beliau
Dalam usia masih belia, beliau sudah belajar dari beberapa orang guru ternama. Di antara mereka adalah ‘Abdud Da’im, Al-Qasim Al-Irbili, Al-Muslim bin ‘Allan, Zainuddin Ibnul Munja, Al-Majd Ibnu ‘Asakir, dan Ibnu Abi ‘Umar serta para syaikh lainnya yang hampir 200 orang jumlahnya. Murid-murid beliaupun bertebaran, bahkan sebagian mereka telah sampai pada tingkatan mujtahid.
Di antara murid beliau yang paling terkenal dan paling banyak mewarisi ilmu beliau adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullahu.
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu mengatakan: ‘Seandainya Syaikh Taqiyuddin tidak mempunyai keutamaan lain selain hanya meluluskan seorang murid yang terkenal seperti Asy-Syaikh Syamsuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ‘pengarang beberapa karya besar yang diambil manfaatnya oleh pendukung dan musuh beliau’, itu saja sudah cukup kuat sebagai bukti nyata betapa agung kedudukan beliau (Ibnu Taimiyah).’
Murid beliau lainnya adalah Ibnu Katsir rahimahullahu, penyusun tafsir yang menjadi salah satu rujukan kaum muslimin. Setelah wafatnya, Ibnu Katsir dimakamkan di samping kuburan guru yang dicintainya, Ibnu Taimiyah di pemakaman Shufiyah.
Murid beliau yang juga terkenal adalah Adz-Dzahabi, penyusun Tarikh Islam, dan kitab-kitab rijal di antaranya Siyar A’lamin Nubala’, Mizanul I’tidal, dan lain-lain. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu penulis Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari pernah berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sambil minum zamzam di dekat Baitullah (Ka’bah) agar diberi anugerah kemampuan membaca yang luas (istiqra’ tam) seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri kepada Al-Imam Adz-Dzahabi.
Ilmu itu seolah-olah menyatu dengan darah dan daging beliau.
Al-Imam Al-Bazzar rahimahullahu menceritakan dari Asy-Syaikh Tajuddin Muhammad yang dikenal dengan Ibnu Ad-Dauri rahimahullahu, dia pernah menghadiri majelis Ibnu Taimiyah yang ketika itu ditanya oleh seorang Yahudi tentang masalah al-qadar (taqdir) dalam bentuk beberapa bait syair.
Setelah mendengar syair-syair itu, Syaikhul Islam berpikir sejenak, lalu mulai menulis jawabannya. Kami mengira beliau menulis jawaban dalam bentuk uraian biasa. Ternyata jawaban beliau juga dalam bentuk syair, lebih kurang 100 bait, yang seandainya disyarah (ditafsirkan, diuraikan) tentu akan menjadi dua jilid kitab yang besar.
Majelis beliau termasuk majelis yang diberkahi. Al-Bazzar menyebutkan, setiap kali beliau menyebut nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak lupa mengucapkan shalawat dan salam untuk beliau. Ibnu Taimiyah sangat mengagungkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hampir tidak ada yang lebih mengagungkan dan lebih semangat mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Ibnu Taimiyah. Selesai mengajar, beliau membuka matanya dan menghadapi hadirin dengan wajah yang berseri-seri.
Senin, tanggal 2 Muharram tahun 683 H, Asy-Syaikh Al-Imam Al-‘Allamah Taqiyyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam Ibnu Taimiyah Al-Harrani mulai memberi pelajaran di Darul Hadits As-Sukkariyah di Qashsha’in. Majelis tersebut dihadiri pula oleh Baha’uddin Yusuf bin Az-Zaki Asy-Syafi’i, Tajuddin Al-Fazari Syaikh Asy-Syafi’iyah, Asy-Syaikh Zainuddin bin Al-Marhal, dan Asy-Syaikh Zainuddin Al-Munja Al-Hanbali. Sedangkan materi yang dipelajari adalah masalah yang cukup ramai dibahas, yaitu tentang basmalah.
Asy-Syaikh Taqiyyuddin Al-Fazari menyebutkan uraian itu melalui tulisannya karena faedahnya yang begitu melimpah. Demikian pula halnya dengan persoalan-persoalan lain yang dianggap baik oleh para peserta yang hadir. Padahal, usia beliau ketika itu baru 22 tahun.
Pada tahun 755 H, beliau memberi pelajaran di madrasah Al-Hanbaliyah, menggantikan Asy-Syaikh Zainuddin Ibnul Munja, salah seorang ulama mazhab Hanbali yang telah wafat.
Belajar dan mengajar ini tidak pernah beliau hentikan meskipun dalam penjara. Pengarang Al-Kawakibud Durriyah menceritakan, bahwa ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditangkap lalu dipenjara, beliau menampakkan kegembiraan dan memang itulah yang dia nantikan.
Di dalam penjara, situasi penjara berubah menjadi majelis ilmu, ibadah dan berbagai kebaikan. Hingga akhirnya, para narapidana yang selesai menjalani masa hukumannya dan keluar, lebih memilih tinggal bersama beliau untuk mendapatkan faedah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Lihat Jamharah Ansabil ‘Arab karya Ibnu Hazm rahimahullahu hal 275. Lihat At-Tibyan Syarh Badi’atil Bayan karya Ibnu Nashir (Program Syamilah).
[sumber: http://www.ahlussunnah-jakarta.com/artikel_detil.php?no=318]
0 komentar:
Posting Komentar