Terkadang kita hanya menganggap ujian dan cobaan adalah segala sesuatu yang tidak menyenangkan dan menyakitkan. Dulu ketika memiliki kedudukan, jabatan, harta dll lupa bahwa itu semua adalah ujian, sekarang setelah jatuh menjadi pesakitan baru sadar dan menganggap bahwa musibah yang menimpa itulah yang diangap ujian.
Allah berfirman;
Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). [Qs. 7 : 168]
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikansebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan (Qs.21 : 35)
Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. (Qs.3:186)
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs.29:2)
Kenikmatan dunia dengan berbagai macamnya merupakan ujian yang berat. Sahabat ‘Abdurrahman bin ’Auf berkata: “Dahulu kami diuji bersama Rasulullah dengan kesengsaraan, maka kami (mampu) bersabar. Kemudian setelah Nabi meninggal kami diuji dengan kesenangan maka kami tidak bersabar.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2464)
‘Abdurrahman bin ‘Auf hendak mengatakan bahwa mereka diuji dengan kefakiran, kesulitan, dan siksaan (musuh) maka mereka mampu bersabar. Namun tatkala (kesenangan) dunia, kekuasaan, dan ketenangan datang kepada mereka, maka mereka bersikap sombong. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi)
Di saat kran dunia dibuka lebar-lebar, maka manusia akan berlomba-lomba untuk mendapatkannya meskipun ada sesuatu yang harus dikorbankan. Persaudaraan yang dahulu terjalin erat kini harus rusak berantakan karena ambisi kebendaan. Sikap saling cinta dan benci yang dahulu diukur dengan agama, sekarang sudah terbalik timbangannya. Karena dunia mereka menjalin persaudaraan. Karenanya pula mereka melontarkan kebencian. Dengan ini mereka tega memutuskan tali kekerabatan, mengalirkan darah, dan melakukan beragam kemaksiatan. Seperti inilah bila kemewahan dunia menjadi puncak tujuan seseorang. Rasulullah bersabda:
مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم
“Bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas kalian. Tetapi aku khawatir akan dibuka lebar (pintu) dunia kepada kalian, seperti telah dibuka lebar kepada orang sebelum kalian. Nanti kalian akan saling bersaing untuk mendapatkannya sebagaimana mereka telah bersaing untuknya. Nantinya (kemewahan) dunia akan membinasakan kalian seperti telah membinasakan mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adalah di akhir-akhir masa sahabat telah muncul gejala yang dikhawatirkan oleh Rasulullah . Di mana fitnah kekuasaan telah memicu adanya peperangan. Persatuan mulai tercabik-cabik dan ketenangan sudah mulai terusik serta jiwa solidaritas melemah di antara manusia. Adalah ‘Abdullah bin Umar berkata: “Sungguh kami telah mengalami suatu masa di mana tidak ada seorang pun (menganggap) lebih berhak dengan uang dinar dan dirhamnya yang dimilikinya lebih dari saudaranya yang muslim. Kemudian sekarang dinar dan dirham lebih dicintai oleh seorang daripada saudaranya yang muslim.” (Shahih Adab Al-Mufrad no. 81)
Tentunya, semakin jauh suatu masa dari zaman kenabian maka akan didapatkan kenyataan yang lebih pahit dan lebih menyedihkan dari sebelumnya. Tidak asing bila sekarang ada orang yang masih mengaku muslim namun tidak lagi peduli dengan kewajiban dan agamanya. Ambisi dunia telah menyita seluruh waktu, tenaga, dan hartanya. Seolah lisan hal-nya hendak mengatakan: “Hidup hanya di dunia, di sini kita hidup, di sini pula kita mati, dan tidak ada hari kebangkitan.” Orang seperti ini bila engkau ajak kepada kebaikan dan majelis ilmu, maka seribu alasan akan dikemukakan untuk tidak mendatanginya. Subhanallah, untuk dunia yang fana yang nantinya akan dia tinggalkan, segala kemampuan dia curahkan. Namun untuk amal kebaikan sebagai bekal untuk akhirat yang kekal ternyata tidak ada kesempatan barang sedikit pun.
SESEORANG AKAN DITANYA TENTANG NIKMAT
Nikmat bukan pemberian cuma-cuma yang kita bebas mempergunakannya semau kita. Bahkan ia merupakan amanah yang kita akan dimintai pertanggungjawabannya. Allah berfirman:
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 8)
Ibnu ‘Abbas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nikmat di sini adalah sehatnya badan, pendengaran, dan penglihatan. Allah menanyai hamba-hamba-Nya tentang nikmat tersebut, pada apa mereka pergunakan. Allah menanyai mereka padahal Allah lebih tahu tentangnya daripada mereka. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa ayat tadi adalah berita dari Allah bahwa seluruh nikmat akan ditanya oleh-Nya.
Qatadah berkata: “Sesungguhnya Allah menanyai semua hamba-Nya tentang apa yang Allah telah titipkan kepada mereka berupa nikmat dan hak-Nya.” (lihat Tafsir Al-Qasimi, 7/379)
Qatadah berkata: “Sesungguhnya Allah menanyai semua hamba-Nya tentang apa yang Allah telah titipkan kepada mereka berupa nikmat dan hak-Nya.” (lihat Tafsir Al-Qasimi, 7/379)
Nabi bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أفنَاهُ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ؟ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ؟ وَمَا ذَا عَمِلَ فِيمَ عَلِمَ؟
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) dari sisi Rabbnya di hari kiamat hingga ditanya tentang lima hal. Tentang umurnya untuk apa ia gunakan, tentang masa mudanya pada apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan pada apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari ilmunya?” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2417, cet. Al-Ma’arif)
Wallahu a’lam.
anwar baru belajar
anwar baru belajar
0 komentar:
Posting Komentar