Untuk masyarakat timur keperawanan masih diutamakan, tidak virgin lagi berarti malapetaka hari depan seorang perempuan. Tantangan yang dihadapi perempuan sekarang, pola pergaulan sudah semakin modern dan kehidupan seks pra nikah kian permisif. Itu beresiko rentan tidak perawan lagi, padahal tuntutan moral mengenai kehormatan dan kesucian wanita sangat penting dan mendasar bagi setiap masyarakat.[1]
Keperawanan seorang perempuan dalam pandangan masyarakat dipahami sebagai mahkota yang harus dipertahankan sampai jenjang pernikahan. Bagi masyarakat, mahkota ini merupakan patokan atau lambang kesucian diri perempuan yang bersangkutan. Dalam arti belum di jamah oleh laki-laki yang bukan suaminya. Konsekuensinya kalau seorang perempuan gagal mempertahankan mahkotanya sebelum dia kawin, maka masyarakat akan mengecap dia telah kehilangan kehormatannya, dan mereka akan ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan perempuan yang masih perawan dengan cara memberikan mereka status sosial yang baru. Istilah bagi mereka yang kehilangan mahkota itu ialah “perempuan yang nakal”, “perempuan tidak baik”, “perempuan berdosa”, “perempuan yang sudah rusak”. Dan mereka sekaligus diperlakukan sesuai dengan status sosial yang baru itu.[2]
Virginitas adalah sebuah konsep yang sangat kompleks dan multi disipliner yang tidak hanya bersifat biologis, yakni sebagai suatu kondisi dimana seseorang belum pernah melakukan hubungan seksual, ditandai masih utuhnya selaput dara, namun robeknya selaput dara dapat pula disebabkan oleh suatu kecelakaan dan bawaan sejak lahir. Secara religius, virginitas sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan atau tunduk patuhnya seseorang kepada pencipta-Nya, Allah Swt. Secara kultural, virginitas sebagai sesuatu yang sangat sakral yakni sebagai wujud cinta dan kasih sayang yang mendalam demi memperoleh keturunan, bukan hanya karena ingin memperoleh kesenangan belaka, dan hanya dapat dilepas ketika sudah menikah.
Islam sangat tegas mengatur pergaulan dalam kehidupan di dunia. Salah satunya kehidupan seksual antara lain dengan mangharuskan menutup aurat tuntutan bagi perempuan dilarang memamerkan bagian-bagian tubuh yang mampu membangkitkan nafsu seksual. Memamerkan di sini diartikan dengan memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang menimbulkan Sex Appael (rangsangan seksual) baik dalam gambar dan rekaman video.
Al-Qur’an menekankan pentingnya perkawinan antara pria dan wanita. Dalam hal ini, al-Qur’an memandang hubungan seksual sebagai suatu hal yang wajar sesuai dengan ketentuan alami.[3] Nabi Muhammad Saw menegaskan bahwa seks adalah salah satu amal sholeh dalam Islam, bahkan beliau menganjurkan agar umatnya memenuhi kebutuhan seksualitasnya di samping kebutuhan ibadahnya. Seks merupakan daya kehidupan yang sangat penting yang diberikan Allah Swt kepada hambanya demi kelanjutan hidup kemanusiaan. Tatkala al-Qur’an memberikan pengakuan terhadap syahwat (libido), maka ia menjadi pemenuhan dorongan seksual sebagai prioritas perhatiannya yang umum dalam mengatur urusan manusia karena Allah Swt tahu kekuatan dorongan ini dalam kehidupan manusia.[4]Di dalam Islam pemenuhan kebutuhan tersebut disebut dengan perkawinan. Para ulama sepakat menghalalkan hubungan seks jika sesuai dengan tuntutan syara’dengan tali pernikahan, mengharamkan perilaku seks bebas.
Islam mengakui keberadaan hasrat, memudahkan jalan baginya untuk memuaskan keinginanya dengan halal, dan melarang pembuangan atau menghindari wanita, sebagaimana Islam juga sangat mengharamkan perzinahan beserta unsur-unsurnya penunjangnya. Inilah sikap yang adil dan moderat. Seandainya pernikahan tidak disyari’atkan, tentu hasrat tidak akan bisa memainkan peranannya dalam melangsungkan kelestarian mencari pasangan manusia, seandainya perzinahan tidak diharamkan dan tidak ada ketentuan pria hanya boleh mencari pasangan wanita, niscaya keluarga yang menjadi sumber terciptanya masyarakat yang penuh kasih sayang, rasa cinta, dan belas kasih itu tidak akan terwujud. Apabila ada keluarga, tentu tidak akan ada masyarakat dan tidak akan tercipta jalan menuju kemajuan dan kesempurnaan.[5]
Syahwat itu mempunyai hikmah lain, yaitu bahwa di dalam menyalurkan terdapat kelezatan yang tiada bandingnya, dan ia mengingatkan pada kelezatan-kelezatan yang dijanjikan di surga, karena menginginkan kelezatan yang tidak ada rasanya itu tidak ada artinya. Salah satu faedah kelezatan dunia itu menimbulkan keinginan akan kekekalannya di surga nanti, agar dapat mendorongnya untuk beribadah kepada Allah. Maka pernikahan yang dapat menyalurkan gejolak syahwat itu menjadi penting artinya di dalam agama, karena apabila syahwat itu bergejolak dan tidak terkendalikan dengan kekuatan takwa, maka ia akan menyeret yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan yang keji.[6]
Virginitas atau keperawanan bagi remaja putri yang belum menikah adalah sebuah nilai kesucian yang harus dijaga sampai dia memasuki kehidupan rumah tangga dan memberikan pertama kali kepada suaminya. Begitu juga remaja putra yang belum menikah harus menjaga keperjakaannya. Sebagai sebuah mahkota nilai kesucian yang melekat pada remaja putri yang belum menikah maka hal itu merupakan sebuah martabat harga dirinya. Sungguh memalukan dan bermoralitas rendah jika remaja putri yang belum menikah telah hilang keperawanannya akibat free sexataupun rayuan pacarnya. Derajat wanita yang masih gadis akan turun dan dipandang jelek dihadapan Tuhan dan masyarakat moralis religius jika keperawanan/virginitas sudah hilang dan diobral begitu saja kepada pacarnya.
Menjaga kesucian diri hanya dapat dilakukan dengan ketakwaan dan sikap wara’(berhati-hati terhadap sesuatu yang diharamkan). Menjaga kesucian atau menunda pemenuhan dorongan seks sangat erat kaitannya dengan konsep yang sangat penting dalam membangun kesehatan jiwa yaitu konsep al-ta’widh berarti keyakinan terhadap adanya pemberian pahala dari Allah Swt sebagai ganti dari usahanya menjaga kesucian diri dari dorongan seks.
Seseorang mungkin bersedia menunda pemenuhan dorongan seksnya, karena keadaan darurat yang tidak terelakkan lagi dan demi menjaga kesucian dirinya, maka Allah Swt akan memberinya pahala yang sepadan dengan pengorbanannya sebagai pengganti dari kelezatan yang rela ia tangguhkan.[7]Sebaliknya, jika seseorang tidak mampu mensyukuri dan menjaga virginitasnya, maka Allah Swt menempatkannya ke dalam golongan para pendosa besar dan masyarakat mengecapnya sebagai perempuan murahan dan terhina.
Tujuan Allah mensyariatkan hukum atau yang dikenal oleh kalangan Ushuliyyindengan istilah Maqashid al-Syari’ah adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat (kerusakan), baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut dapat dicapai melalui taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber utama hukum, yaitu al-Qur’an dan al-Hadist. Berdasarkan penelitian Imam al-Syatibi dalam karya monumentalnya, al-Muwafaqat fi ushul al-Syari’ah, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diaktualisasikan di dalam kehidupan, yaitu hifzh al-din (memelihara agama), hifzh al-nafs (memelihara jiwa), hifzh al-nasl (memelihara keturunan), dan hifzh al-mal (memelihara harta).[8]Kelima pokok tersebut merupakan hasil interpretasi al-Qur’an dan Hadist, dengan tujuan untuk mendatangkan maslahat dan menghilangkan mudharat.
Dalam hal menjaga kevirginitasan bagi perempuan termasuk ke dalam hifzh al-nafs (menjaga jiwa), keperawanan adalah merupakan sesuatu yang penting bagi perempuan karena seseorang yang dapat menjaga kehormatannya berarti ia adalah termasuk seorang yang bisa menjaga dirinya. Namun perlu diingat pula, bahwa bukan berarti seorang yang telah kehilangan keperawananya karena zina dikategorikan wanita binal, karena ketika ia bertaubat, maka ia bisa menjadi lebih baik. Karena Allah selalu membuka jalan bagi orang- orang yang benar-benar ingin bertaubat dan niat tidak akan mengulanginya lagi. Dan hal ini pun sudah diperintahkan oleh Allah Swt seperti tercantum pada Qs al-Tahrim (66): 8) sebagai berikut:
Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.". (Qs. al-Tahrim (66): 8).
Namun, ayat ini bukan membuka peluang untuk menjadikan diri sebagai wanita yang tidak benar, tapi ayat ini di perlakukan bagi mereka yang sudah terlanjur hilang keperawanannya akibat perbuatan zina, maka Allah swt senantiasa membukakan pintu maaf baginya, jika dia bersungguh-sungguh untuk bertaubat.
[1] Murtada Muthahhari, Etika Seksual dalam Islam, (Jakarta: Lentera,1982), h.23.
[2] Adrina, Kristi Purwandari, dkk, Hak-hak Reproduki Perempuan yang Terpasung, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 16.
[3] Ibnu Mustafa, Wanita Islam Menjelang Tahun 2000, (Bandung: al-Bayan, 1995), h.135.
[4] Yusuf Madan,Sex education for Teens, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2004), h.10.
[5] Yusuf Qardhawi, Ensiklopedi Muslimah Modern, (Depok: Pustaka Iman, 2009), h.112
[6] Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani, 1998), h. 31.
[7] Haidar Abdullah, Kebebasan Seksual dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 35.
[8] Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos. Wacana Ilmu, 1999), Cet III, h. 125.
0 komentar:
Posting Komentar