Blog yang menghimpun konten ilmu yang bermanfaat

HUKUM SEPUTAR KEGUGURAN JANIN

Pada tulisan ini kami akan membahas hal-hal apa yang dilakukan terkait prosesi syar’i ketika terjadi keguguran pada seorang wanita. Secara umum kondisi janin ketika keguguran / meninggal dunia ada 2 kondisi yaitu sebelum ditiupkannya ruh dan sesudah ditiupkannya ruh. Para ulama menyebutkan batas usia janin dalam perut Ibu yang sudah ditiupkan ruh adalah 4 bulan. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang dikenal dengan sebutan hadits Shodiqul Masduq dari sahabat ibnu Mas’ud rodhiyallahu anhu beliau berkata :
حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ الصَّادِقُ المَصْدُوقُ، «إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ إِلَيْهِ مَلَكًا بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، فَيُكْتَبُ عَمَلُهُ، وَأَجَلُهُ، وَرِزْقُهُ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ
Haddatsanaa Rasulullah sholallahu alaihi wa salam –Beliau adalah yang jujur dan dibenarkan-, Beliau sholallahu alaihi wa salam bersabda : “sesungguhnya kalian berada didalam perut ibumu selama 40 hari, lalu menjadi segumpal darah selama itu (40 hari), lalu menjadi segumpal daging selama itu (40 hari). Kemudian Allah mengutus kepadanya seorang malaikat yang akan mencatatkan kepadanya 4 hal yaitu : ditulis amalnya, ajalnya, rizqinya, ia celaka atau bahagia, kemudian ditiupkan ruh padanya. (HR. Bukhori-Muslim, ini lafadz Bukhori).
Berdasarkan hal ini, maka hukum seputar janin yang gugur dalam kandungan akan kita bagi menjadi 2 keadaan sebagai berikut :
  1. Gugur sebelum ditiupkan ruh
Ketika –Qodarullah- janin dalam perut sang Ibu gugur / wafat sebelum usia janin menginjak 4 bulan, maka terkait beberapa perkara ibadah para ulama mengatakan terjadinya kesepakatan (ijma) dari ulama kita bahwa janin tersebut tidak dimandikan, dikafani dan disholati. Imam Ibnu Utsaimin dalam Liqoo’aatil Baabil Maftuuh berfatwa :
ما سقط قبل تمام أربعة أشهر فهذا ليس له عقيقة، ولا يسمى، ولا يصلى عليه، ويدفن في أي مكان من الأرض
Janin yang gugur sebelum sempurma 4 bulan, maka tidak ada aqiqah padanya, tidak diberi nama, tidak disholati dan dikubur di tempat mana saja.
Syaikh Hisaamuddin ‘Afaanah dalam Fatawa Yas’alunak menukil adanya ijma dalam permasalahan ini dari Imam Nawawi dan Imam Ibnu Qudamah. Imam Nawawi dalam al-Majmu Syarah al-Muhadzab (5/258) berkata :
وَقَالَ الْعَبْدَرِيُّ إنْ كَانَ لَهُ دُونَ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ لَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ بِلَا خِلَافٍ يَعْنِي بِالْإِجْمَاعِ
Al-‘Abdariy berkata : jika janin yang gugur usianya kurang dari 4 bulan, maka tidak disholati, tanpa adanya perbedaan pendapat, yakni ini adalah ijma’.
Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughi (2/389) berkata :
فأما من لم يأت له أربعة أشهر فإنه لا يغسل ولا يصلى عليه ويلف في خرقة ويدفن ولا نعلم فيه خلافاً
Adapun jika janin belum berusia 4 bulan, maka tidak dimandikan dan tidak disholati, namun dibungkus dan dikuburkan. Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam masalah ini.
Kemudian berkaitan dengan sang Ibu, terkait dengan darah yang keluar karena proses keguguran ini, maka jika janinnya sudah berbentuk makhluk, seperti sudah ada tangan atau kaki atau kepala, sekalipun belum ditiupkan ruh, darah yang keluar dianggap darah nifas, sehingga diberlakukan hukum-hukum nifas kepada sang Ibu. Lajnah Daimah Saudi Arabia pernah berfatwa (no. 9520) sebagai berikut :
إذا كان الجنين قد تخلق، بأن ظهرت فيه أعضاؤه من يد أو رجل أو رأس حرم عليه جماعها ما دام الدم نازلا إلى أربعين يوما، ويجوز أن يجامعها في فترات انقطاعه أثناء الأربعين بعد أن تغتسل، أما إذا كان لم تظهر أعضاؤه في خلقه فيجوز له أن يجامعها ولو حين نزوله؛ لأنه لا يعتبر دم نفاس، وإنما هو دم فساد تصلي معه وتصوم ويحل جماعها وتتوضأ لكل صلاة
Jika janin sudah terbentuk yakni sudah kelihatan anggota tubuhnya, seperti tangan atau kaki atau kepala, maka diharamkan berjima’ selama darah masih keluar sampai 40 hari. Boleh berjima’ jika darahnya sudah terhenti –walaupun- belum 40 hari, setelah istri mandi terlebih dahulu.
Adapun jika tidak kelihatan anggota tubuhnya, maka boleh berjima’ dengan istri, sekalipun masih mengeluarkan darah, karena itu tidak dianggap sebagai nifas, itu hanyalah darah fasad yang masih bisa tetap sholat, puasa dan halal berjima’, lalu sang ibu berwudhu setiap kali hendak sholat.
Dimungkinkan untuk mengetahui bahwa apakah janin sudah terbentuka atau belum, adalah pada saat usianya lebih dari 80 hari, karena ini adalah fase pembentukan tubuh, sebagaimana yang difatwakan oleh Imam Ibnu Utsaimin dalam Liqoo’aat :
قال العلماء: يثبت النفاس إذا تبين في الجنين خلق الإنسان، ويتبين خلق الإنسان من ثمانين يوماً فما فوق، لقول الله تعالى: ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ [الحج:5] المضغة تبدأ من ثمانين يوماً، فمن ثمانين يوماً فما فوق يمكن أن يخلَّق، فمتى خُلِّق وتميزت رجلاه ويداه ورقبته ورأسه صار الدم دم نفاس، وما قبل ذلك الدم فهو دم فساد لا يمنع من صلاة ولا صيام ولا زوج.
Para ulama berkata : ‘ditetapkan nifas jika telah jelas bahwa janin sudah terbentuk manusia dan diketahui terbentuknya manusia mulai dari 80 hari keatas, berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aalaa : {kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna} (QS. Al Hajj : 5).
Segumpal daging mulai terbentuk pada usia 80 hari, maka jika usia janin mulai dari 80 hari keatas, dimungkinkan bahwa ia sudah menjadi makhluk dan ketika sudah terbentuk yang bisa dibedakan mana kaki, tangan, lutut dan kepalanya, maka darah yang keluar dianggap darah nifas. Adapun sebelum usia tersebut, maka itu adalah darah fasad yang tidak menghalangi untuk melakukan sholat, puasa dan berjima’.

  1. Gugur setelah ditiupkan ruh
Yakni janin wafat seletah usianya mencapai 4 bulan lebih. Pada kondisi ini ada 2 keadaan, yakni janin gugur dalam kondisi sudah menjadi mayat, artinya ia sudah meninggal dulu didalam perut ibunya, sedangkan yang kedua janin gugur namun sempat ada tanda-tanda hidup walau sebentar, misalnya menangis atau bersin, kemudian langsung wafat. Pada ulama dalam hal ini telah menjelaskan hukum-hukum terkait dengannya sebagai berikut :
  1. Janin yang gugur sudah wafat terlebih dahulu
Para ulama berselisih pendapat jika janin sudah wafat dalam kondisi gugur. Syaikh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah (1/529) menukilkan kepada kita pendapat ulama yang mengatakan janin tersebut tidak perlu disholati, kata beliau :
فإذا لم يستهل فإنه لا يصلى عليه عند الاحناف ومالك والاوزاعي والحسن، لما رواه الترمذي، والنسائي، وابن ماجه والبيهقي عن جابر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” إذا استهل السقط صلي عليه وورث ” ففي الحديث اشتراط الاستهلال في الصلاة عليه.
Jika janin tidak ada tanda-tanda hidup, maka tidak disholati menurut Hanafiyyah, Malikiyyah, Auzai dan Hasan al-Bashri, berdasarkan riwayat Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi dari Jaabir rodhiyallahu anhu bahwa Nabi sholallahu alaihi wa salam bersabda : “jika janin yang gugur menangis, maka disholati dan mendapatkan warisan”.
Maka dalam hadits ini disyaratkan menangis bagi janin yang akan disholatkan -selesai-.
Kemudian di akhir pembahasan Syaikh Sayyid Sabiq mendhoifkan hadits ini dan mengunggulkan pendapat yang kedua –yang nanti akan kami bawakan, biidznillah-. Hadits ini didhoifkan juga oleh Imam Al Albani dalam Ahkamul Janaiz lalu beliau menyandarkan pendhoifan ini dari sejumlah ulama.
Pendapat yang kedua bahwa janin tersebut dimandikan, dikafani, disholatkan dan dikebumikan layaknya seperti anak kecil pada umumnya. Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitab yang sama berkata :
وذهب أحمد وسعيد وابن سيرين وإسحاق إلى أنه يغسل ويصلى عليه للحديث المتقدم. وفيه: ” والسقط يصلى عليه ” ولانه نسمة نفخ فيه الروح، فيصلى عليه كالمستهل. فإن النبي صلى الله عليه وسلم أخبر أنه ينفخ فيه الروح لاربعة أشهر،
Ahmad, Said (ibnul Musayyib), Ibnu Sirin dan Ishaq berpendapat bahwa janin tersebut dimandikan dan disholatkan, berdasarkan hadits yang telah lewat bahwa Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam bersabda : “janin yang gugur disholatkan”.
Karena janin tersebut sudah menjadi makhluk yang ditiupkan ruh padanya, maka disholati sebagaimana janin yang istihlaal (memiliki tanda-tanda kehidupan). Dikarenakan juga Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam memberitahukan bahwa janin ditiupkan ruh pada usia 4 bulan –selesai-.
Adapun madzhab kita Syafi’yyah maka terjadi perbedaan penukilan dari Imamuna Muhammad bin Idris asy-Syafi’I. Imam Nawawi dalam al-Majmu (5/257) menukil perkataan Imam al-Muhaamiliy dalam al-Majmuu’ katanya :
فَقَالَ إنْ سَقَطَ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوحِ وَلَمْ يَسْتَهِلَّ بِأَنْ سَقَطَ لِفَوْقِ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَقَوْلَانِ قَالَ فِي الْقَدِيمِ وَالْجَدِيدِ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَفِي الْبُوَيْطِيِّ يُصَلَّى عَلَيْهِ
Jika janin gugur setelah ditiupkan ruh padanya, namun belum istihlaal (tidak ada tanda-tanda kehidupan) yakni ia gugurnya pada usia diatas 4 bulan, maka ada 2 pendapat. Dalam (pendapat Imam Syafi’I) al-Qodiim dan al-Jadiid mengatakan tidak disholati, namun dalam (naskah) al-Buwaithiy, Imam Syafi’I mengatakan disholati.
Kemudian Imam Nawawi sendiri dalam al-Majmu (5/255) berkata tentang pendapat Imam Syafi’I , kata beliau :
وَإِنْ تَمَّ لَهُ أَرْبَعَةُ أَشْهُرٍ فَفِيهِ قَوْلَانِ (قَالَ) فِي الْقَدِيمِ يُصَلَّى عَلَيْهِ لِأَنَّهُ نُفِخَ فِيهِ الرُّوحُ فَصَارَ كَمَنْ اسْتَهَلَّ (وَقَالَ) فِي الْأُمِّ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ وَهُوَ الْأَصَحُّ لِأَنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ لَهُ حُكْمُ الدُّنْيَا فِي الْإِرْثِ وَغَيْرِهِ فَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِ
Jika janin telah sempurna usianya 4 bulan, maka ada 2 pendapat. Dalam al-Qodiim (Imam Syafi’i) berpendapat : ‘janin tersebut disholati’, karena sudah ditiupkan ruh, maka itu seperti janin yang istihlaal. Namun dalam al-Umm, beliau berpandapat tidak disholati dan ini adalah pendapat yang rajih, karena janin tidak tetap padanya hukum dunia berupa warisan dan selainnya, sehingga tidak disholati.
Perojihan Imam Nawawi juga dilakukan oleh Imam abul Khoir (w. 558 H) dalam al-Bayaani Fii Madzhabil Imam Syafi’I (3/78), kata beliau :
والثاني: لا تجب الصلاة عليه، وبه قال مالك، وأبو حنيفة رحمة الله عليهما، وهو الصحيح، لقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «إذا استهل السقط … صلي عليه» ، فدليل خطابه: أنه إذا لم يستهل لا يصلى عليه.
Pendapat yang kedua, tidak wajib sholat padanya, ini adalah pendapatnya Malik dan Abu Hanifah dan ini pendapat yang benar, berdasarkan sabda Nabi Sholallahu ‘alaihi wa salaam : “jika janin yang gugur istihlaal…maka disholati”.
Maka dalil khithob bahwa jika janin tidak istihlaal berarti tidak disholati.
Namun pendapat yang rajih –wallahu A’lam- adalah pendapatnya madzhab Hanbali karena beberapa alasan berikut :
  1. Janin yang berumur lebih dari 4 bulan telah ditiupkan ruh yang merupakan pertanda bahwa ia telah hidup sebetulnya dalam perut Ibunya, namun –Qodarullah- janin tersebut mati dalam perut ibunya karena sebab yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’alaa.
  2. Hadits yang mempersyaratkan istihlaal pada janin untuk disholati adalah tidak shahih alias dhoif, sebagaimana dijelaskan oleh lebih dari satu ulama. Istilaal adalah tanda-tanda kehidupan ketika janin keluar dari perut ibunya, seperti menangis, bersin dan gerakan-gerakan lain yang menandakan adanya kehidupan.
  3. Terdapat hadits yang dishahihkan oleh ulama diantaranya oleh Imam Al Albani, Lajnah Daimah dan selainnya bahwa janin yang gugur tetap disholati dan ini umum mencakup yang istihlaal dan tidak istihlaal jika usianya sudah lebih dari 4 bulan.
Pendapat Hambaliyyah dirajihkan oleh beberapa ulama muta’akhirin seperti Imam Al Albani, Lajnah Daimah, Syaikh Sayyid Sabiq dan selain mereka.
Namun barangkali apa yang diajukan oleh Imam Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (3/353) lebih sesuai, beliau meriwayatkan sebuah hadits dari Ummul Mukimin Aisyah Rodhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :
مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ابْنُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ ابْنُ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ شَهْرًا فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ibrohim anak Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa salaam wafat pada usia 18 bulan, namun Beliau Sholallahu ‘alaihi wa salaam tidak mensholatinya (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dihasankan oleh Imam Al Albani dan Syaikh Syu’ab Arnauth).
Setelah menukil hadits ini, Imam Ibnu Hazm berkata :
هَذَا خَبَرٌ صَحِيحٌ وَلَكِنْ إنَّمَا فِيهِ تَرْكُ الصَّلاةِ، وَلَيْسَ فِيهِ نَهْيٌ عَنْهَا
Ini adalah hadits shahih, namun hanyalah didalamnya terdapat faedah meninggalkan sholat bukan larangan darinya –selesai-.
Sehingga jika anak kecil saja tidak diwajibkan untuk mensholatinya ketika wafat, apalagi seorang janin. Jadi hukum mensholati janin adalah sunnah, bukan wajib.
Kemudian para ulama berbeda pendapat terkait janin yang sudah berusia 4 bulan keatas yang meninggal dunia dalam perut ibunya lalu gugur, apakah disyariatkan diaqiqahi atau tidak? Imam Ibnu Utsaimin dalam Liqoo’aat berfatwa :
وأما ما سقط بعد أربعة أشهر فهذا قد نفخت فيه الروح، فيسمى، ويغسل، ويكفن، ويصلى عليه، ويدفن مع المسلمين، ويعق عنه على ما نراه، لكن بعض العلماء يقول: لا يعق عنه حتى يتم سبعة أيام حياً، لكن الصحيح أنه يعق عنه؛ لأنه سوف يبعث يوم القيامة ويكون شافعاً لوالديه.
Adapun janin yang gugur setelah 4 bulan, maka ia telah ditiupkan ruh, sehingga diberi nama, dimandikan, dikafani dan disholati, lalu dikubur di pekuburan kaum muslimin.
Ia diaqiqahi menurut pandangan kami, namun sebagian ulama berpendapat : ‘tidak diaqiqahi sampai ia sempurna 7 hari dalam kondisi hidup’. Namun yang rajih ia diaqiqahi, karena diharapkan kelak ketika dibangkitkan pada hari kiamat ia akan menjadi pemberi syafaat kepada kedua orang tuanya.
Ulama kita Syafi’iyyah yakni Imam Ibnu Hajar al-Haitsami pernah berfatwa sebagai berikut dalam Fatwa Ibnu Hajar (4/256) sebagai berikut :
نَفَعَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِعُلُومِهِ الْمُسْلِمِينَ بِأَنَّ الْعَقِيقَةَ إنَّمَا تُسَنُّ عَنْ سُقْطٍ نُفِخَتْ فِيهِ الرُّوحُ كَمَا جَرَيْتُ عَلَيْهِ فِي شَرْحَيْ الْإِرْشَادِ وَالْعُبَابِ تَبَعًا لِلزَّرْكَشِيِّ وَأَمَّا مَا لَمْ تُنْفَخْ فِيهِ الرُّوحُ فَهُوَ جَمَادٌ لَا يُبْعَثُ وَلَا يُنْتَفَعُ بِهِ فِي الْآخِرَةِ فَلَا تُسَنُّ لَهُ عَقِيقَةٌ بِخِلَافِ مَا نُفِخَتْ فِيهِ فَإِنَّهُ حَيٌّ يُبْعَثُ فِي الْآخِرَةِ وَيُنْتَفَعُ بِشَفَاعَتِهِ وَقَدْ قَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ السَّلَفِ مَنْ لَمْ يَعُقَّ عَنْ وَلَدِهِ لَا يَشْفَعُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَفْهَمَ مَا ذَكَرْته مِنْ أَنَّ الْعَقِيقَةَ تَابِعَةٌ لِلْوَلَدِ الَّذِي يَشْفَعُ وَهُوَ مَنْ نُفِخَتْ فِيهِ الرُّوحُ فَكَذَلِكَ يُقَيَّدُ نَدْبُهَا بِمَنْ نُفِخَتْ فِيهِ الرُّوحُ ، وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ
Semoga Allah memberikan ilmu-Nya kepada kaum Muslimin bahwa aqiqah hanyalah disunnahkan kepada janin yang gugur jika sudah ditiupkan ruhnya, sebagaimana telah aku jelaskan dalam Syarah al-Irsyaad wal ‘Ubaab mengikuti pendapatnya az-Zarkasyi.
Adapun janin yang belum ditiupkan ruh, maka itu adalah benda mati yang tidak akan dibangkitkan dan memberi manfaat di akhirat, sehingga tidak disunnahkan baginya aqiqah, berbeda dengan janin yang sudah ditiupkan ruh, karena ia hidup dan kelak akan dibangkitkan pada hari akhir, lalu bermanfaat syafaatnya.
Sebagian salaf berkata : ‘barangsiapa yang tidak mengakikahi anaknya, maka si anak tidak akan memberikan syafat kepadanya pada hari kiamat’.
Maka dapat dipahami apa yang aku sebutkan bahwa aqiqah mengikuti anak yang akan memberikan syafaat yaitu janin yang telah ditiup ruh padanya. Oleh karena itu kami mengkaitkan aqiqah ini dengan anak yang telah ditiupkan ruh padanya. Wallahu A’lam.

  1. Janin yang gugur sempat hidup walaupun sebentar
Syaikh Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah berkata :
قال ابن المنذر: أجمع أهل العلم على أن الطفل إذا عرفت حياته واستهل يصل عليه
Ibnul Mundzir berkata : ‘para ulama bersepakat bahwa bayi jika diketahui hidup dan istihlaal maka disholati’.
Namun sekali lagi kami sampaikan bahwa sholat ini sunnah, berdasarkan hadits Aisyah Rodhiyallahu ‘anha yang telah lewat. Imam Ibnu Hazm dalam al-Muhalla berkata :
وَنَسْتَحِبُّ الصَّلاةَ عَلَى الْمَوْلُودِ يُولَدُ حَيًّا ثُمَّ يَمُوتُ – اسْتَهَلَّ أَوْ لَمْ يَسْتَهِلَّ – وَلَيْسَ الصَّلاةُ عَلَيْهِ فَرْضًا مَا لَمْ يَبْلُغْ
Kami menganjurkan sholat atas anak yang dilahirkan hidup, kemudian wafat –istihlaal ataupun tidak istihlaal-. Dan sholat ini bukan wajib, selama si anak belum baligh.

Catatan : namun janin yang gugur ini atau jika seorang memiliki anak kemudian meninggal dunia sebelum sempat dikhitan, maka hendaknya sang anak atau janin jangan dikhitan. Syaikh DR. Abdullah Faqih dalam Fatwanya (no. 38735) mengingatkan kepada kita semua, kata beliau :
ونحب أن ننبه السائل إلى أن السقط لا يُخْتَن، وقد سئل شيخ الإسلام ابن تيمية عن صبي مات وهو غير مختون، فهل يختن؟ فأجاب: لا يختن أحد بعد الموت. وذهب الشافعية إلى أن من مات قبل الختان لا يختن لزوال التكليف عنه.
Kami senang untuk menjelaskan kepada penanya tentang janin yang belum dikhitan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang anak kecil yang meninggal dunia dan belum sempat dikhitan, apakah ia dikhitan? Beliau menjawab : ‘janganlah seorang itu dikhitan setelah meninggal dunia’.
Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang wafat sebelum dikhitan, tidak perlu dikhitan karena sudah terlepas pembebanan syariat kepadanya.

Kesimpulan :
  1. Janin yang usianya kurang dari 4 bulan diberlakukan seperti daging biasa, dibungkus kemudian dikubur di tanah.
  2. Janin yang usianya lebih dari 4 bulan, ketika keguguran, maka dimandikan, dikafani, diberi nama, disholati, diaqiqahi dan dikuburkan di pekuburan kaum Muslimin.
  3. Bagi ibu yang keguguran dan usia janinya sudah 80 hari lebih maka berlaku baginya hukum nifas.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : HUKUM SEPUTAR KEGUGURAN JANIN

0 komentar:

Posting Komentar