Fenomena ini memerlukan kajian yang mendalam untuk menemukan mashlahah nyata (hakiki) sebagai dalil hukumnya. Alasan-alasan pasien yang melakukan operasi selaput dara ini patut dipertimbangkan dengan baik, antara manfaat dan bahayanya. Penulis menggunakan mashlahah mursalah sebagai pisau analisis tulisan ini karena fenomena ini tidak terdokumentasikan dalam al-Qur’an dan Hadis secara tafshiliy, dan agar dapat berlaku fleksibel tanpa harus kehilangan ruh at-tasyri’-nya sebagai wujud Islam rahmatal lil ‘alamin. Langkah-langkah analisis mashlahah mursalah ini ditempuh melalui beberapa tahapan berikut:
1. Mengidentifikasi ‘illahfenomena operasi rekonstruksi selaput dara untuk keharmonisan keluarga.
2. Menganalogikannya dengan hukum atau pendapat ulama’ terdahulu.
3. Mencocokkannya dengan beberapa atau salah satu maqashid syari’ah sebagai pertimbangan ruh at-tasyri’-nya.
4. Mempertimbangkannya dengan kaidah-kaidah fiqh sebagai operasional hukum.
5. Mengambil kesimpulan hukumnya.
Pertama, fenomena-fenomena tersebut semuanya bermuara pada tujuan keharmonisan keluarga sebagai tolak ukur mashlahah yang ingin dicapai. ‘Illah yang terkandung didalamnya sebagai motif wanita berkeluarga melakukan rekonstruksi selaput dara diantaranya:
1. Adanya tuntutan libido suami yang masih tinggi dan untuk mengisi waktu yang sebentar bersama suami yang baru pulang dari perantauan/luar kota dengan sesuatu yang lebih berkesan.
2. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan dengan cara yang khusus.
3. Untuk mengembalikan gairah hubungan intim.
4. Untuk mengembalikan rasa percaya diri.
5. Agar suami tidak berbuat serong diluar rumah.
Dari sini dapat dipahami bahwa ‘illah yang terkandung pada fenomena-fenomena di atas adalah satu yaitu tujuan keharmonisan keluarga. Apakah faktor-faktor penyebab di atas bisa dijadikan alasan? Adakah mashlahah haqiqididalamnya?
Kedua, pendapat ulama’ yang membahas secara rinci sejauh yang penulis ketahui hanya Dr. Nu’aim Yasin. Namun ada satu pendapat ulama’ yang juga dapat dijadikan referensi perbandingan walaupun maknanya lebih bersifat umum dibanding fenomena yang penulis angkat sekarang yang lebih bersifat terperinci. Pendapat tersebut disampaikan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuti dalam kitab al-Asybah wa an-Nadzair:
قَالَ الإمَامُ جَلاَلُ الدِّيْنِ السُّيُوطِي القَاعِدَةُ الرَّابِعَةُ الضَّرَرُ يُزَالُ أَصْلُهاَ قَولُهُ صلى الله عليه و سلم لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَاراً وَ قَالَ الْقَاعِدَةُ الثَّالِثَةُ وَ الْعِشْرُونَ الوَاجِبُ لاَ يُتْرَكُ إِلاَّ لِوَاجِبٍ وَ عَبَّرَ عَنْهُماَ قَومٌ بِقَولِهِمْ الْوَاجِبُ يُتْرَكُ لِسُنَّةٍ _الى أن قال_ وَ فِيْهاَ فُرُوعٌ مِنْهاَ الْخِتاَنُ لَو لَمْ يَجِبْ لَكَانَ حَرَاماً لِماَ فِيْهِ مِنْ قَطْعِ عُضْوٍ وَ كَشْفِ الْعَوْرَةِ وَ النَّظَرِ إِلَيْهاَ
Al-Imam Jalaluddin al-Suyuthi berkata: Kaedah yang keempat ialah, kemudaratan itu harus dihilangkan berdasarkan sabda Nabi Saw, “Tidak boleh berbuat kemudaratan terhadap diri sendiri dan tidak boleh berbuat kemudaratan terhadap orang lain”. Ia berkata: Kaedah yang kedua puluh tiga, perkara yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali karena perkara wajib yang lain. Sebagian ulama mengungkapkan kaedah ini dengan redaksi, perkara yang wajib tidak boleh ditinggalkan karena perkara sunat…. Di antara cabang-cabang kaedah ini, berkhitan andaikan tidak wajib, niscaya diharamkan karena di dalamnya terdapat unsur memutus sebagian organ tubuh, terbukanya aurat dan terlihatnya aurat oleh orang lain.[1]
Redaksi terakhir memberikan sedikit pencerahan yang berarti kewajiban khitan andaikan bukan karena perintah langsung Allah Swt niscaya hal itu dilarang karena sebab-sebab yang ditimbulkannya. Operasi selaput dara, terlepas apapun motifnya, karena tidak ada perintah wajib sebagaimana kewajiban khitan menimbulkan kontroversi hukum di kalangan ulama’. Selain itu, khitan dan operasi selaput dara memiliki kesamaan yang sangat mendasar, yaitu merubah sebagian bentuk anggota badan (baik itu memutus, menyayat ataupun menjahit) dan terbuka serta terlihatnya aurat (paling intim) oleh orang lain. Tanpa adanya sebab yang sangat mendesak (dharurah) maka operasi selaput dara dipastikan haram hukumnya.
Ketiga, menimbang manfaat dan mafsadat serta kadar mashlahah dan dharurahyang terkandung pada fenomena tersebut untuk dipahami cakupan ruh at-tasyri’-nya. ‘Illah yang diajukan adalah untuk mencapai keharmonisan keluarga dan suami tidak berbuat serong di luar rumah. Manfaat yang ditimbulkan hanya berdampak pada sisi psikologis dimana mereka merasa lebih berbahagia dalam berhubungan intim pasca operasi. Keharmonisan keluarga yang mereka harapkan juga dapat tercapai.
Mafsadat yang ditimbulkan mungkin hanya sebatas sifat riya’ yang kerap ditimbulkan. Tidak sampai menimbulkan dampak yang menyebabkan semakin maraknya seks bebas karena operasi ini dilakukan oleh wanita yang berkeluarga dan diperuntukkan untuk suaminya. Tapi menurut penulis, pertimbangan manfaat dan mafsadatnya saja belum cukup untuk menghukuminya karena itu lebih bersifat personal, belum mencakum mashlahahmursalah-nya yang bersifat umum dan bisa jadi juga diikuti oleh wanita berkeluarga lainnya.
Dalam menentukan mashlahah nyata (hakiki) yang terkandung di dalamnya harus dilihat terlebih dahulu masuk dalam kategori kebutuhan apakah operasi itu dilakukan?
Mashlahah ad-dharuriyat adalah kebutuhan pokok. Jika tidak dilakukan, maka eksistensi kehidupan yang tercover dalam maqashid syari’ah menjadi terancam dan akan terjadi kehancuran/kerusakan. Penulis beranggapan bahwa operasi rekonstruksi selaput dara yang dilakukan demi menciptakan dan menjaga keharmonisan keluarga bukan termasuk dalam kategori mashlahah ini karena walaupun tidak dilakukan tidak berdampak apa-apa. Kembalinya selaput dara tidak berdampak apa-apa kecuali hanya dari aspek psikologis suami-istri. Tidak sampai mengancam agama, diri (perceraian), akal, keturunan dan harta.
Mashlahah al-hajiyat memberikan keringanan untuk menunjang pemeliharaan lima kebutuhan yang menjadi kebutuhan pokok di atas. Adanya operasi ini paling dekat adalah untuk memelihara jiwa/diri dan keturunan dari kehancuran yang berupa perceraian antara suami-istri. Namun menurut penulis, jika tidak melakukan operasi ini juga tidak akan berdampak pada hubungan suami-istri. Tidak ada kesulitan apapun semisal mereka tidak melakukan operasi ini terutama bagi yang melakukan tanpa adanya ancaman perceraian/kekhawatiran “jajan” di luar. Artinya, perjalanan hubungan suami-istri dengan melakukan atau tidaknya operasi rekonstruksi selaput dara tidak sampai mengganggu keharmonisan keluarga, hanya berdampak pada peningkatan rasa cinta suami-istri. Kalaupun ada kesulitan yang akhirnya mengancam keharmonisan keluarga, pastinya ada alternatif lain selain melakukan operasi rekonstruksi selaput dara untuk memperingan kesulitan tersebut. Karena keharmonisan keluarga tidak hanya diukur dari hubungan intim suami-istri, melainkan lebih luas lagi mencakup pemenuhan kebutuhan lahir dan batin suami-istri.
Mashlahah at-tahsiniyat digunakan sebagai pelengkap kebutuhan di atas untuk maksud kebaikan dan budi pekerti. Sekiranya, kemaslahatan ini seandainya tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Begitupun juga dengan operasi rekostruksi selaput dara ini sebagaimana dijelaskan di atas. Justru melakukan operasi ini terkesan menghambur-hamburkan uang dan kerap ingin terlihat sempurna sehingga menurut budi pekerti tidaklah baik. Seperti yang dilukiskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam sabdanya:
لَعَنَ اللهُ الْوَاشِماَتِ وَ الْمُسْتَوشِماتِ وَ الْمُتَنَمِّصَاتِ وَ الْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقِ اللهِ تعالى
Allah melaknat washimat(pembuat tato), mustaushimat (yang meminta dibuatkan tato), mutanammisat,[2]mutafallijat[3]untuk kecantikan, dan perempuan-perempuan yang merubah ciptaan Allah[4]” (HR. al-Bukhari Muslim)[5]
Mashlahah nyata (hakiki) yang terkandung dalam fenomena-fenomena tersebut tidak dapat ditemukan secara meyakinkan, tidak masuk dalam kategori mashlahah ad-dharuriyat dan hajiyat. Karena tolak ukur mashlahah adalah tujuan-tujuan syara’ atau berdasarkan ketentuan syari’, meskipun kelihatan bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia yang seringkali dilandaskan pada hawa nafsu semata.[6]Selain itu fenomena tersebut juga belum mencakup persyaratan operasi medis yang dikemukakan oleh Dr. Khalid Manshur, yaitu:
1. Tidak ada alternatif yang lebih ringan dari pada operasi, sedangkan alternatif lain masih banyak sebagai pengganti operasi rekonstruksi selaput dara seperti senam pengencangan otot vagina dan pemenuhan kebutuhan lain untuk menunjang keharmonisan keluarga.
2. Pasien harus membutuhkannya, baik itu kebutuhan dharuri (asasi) atau kebutuhan lain yang mencapai derajat hajjiyyat (kebutuhan) dan kebutuhan yang termasuk perkara tahshiniyyat (tersier) yang diperintahkan syar’i.
3. Pasien atau walinya memberi ijin operasi.[7]
Disamping itu, operasi rekonstruksi selaput dara juga tidak masuk dalam kategori operasi kecantikan (plastik) yang dibolehkan menurut Dr. Khalid Mansur, yaitu operasi plastik dengan tujuan pengobatan dan terapi medis, bukan sekedar menonjolkan seni di bidang kedokteran sebagaimana dewasa ini. Penyebabnya dikarenakan:
1. Sebab dharuri, yang dimaksudkan untuk menghilangkan cacat pada fisik, kelainan bentuk, kerusakan atau kekurangan, karena terpenuhinya dharurah menjaga jiwa dari kebinasaan.
2. Sebab eksternal, yaitu sejumlah sebab dan alasan yang dimaksudkan untuk menghilangkan cacat dan kelainan bentuk untuk menghindari bahaya diluar batasan dharurah syar’iyyah.[8]Sedangkan operasi rekonstruksi selaput dara bukan merupakan cacat dan kelainan bentuk.
Keempat, bahwasanya fenomena ini berkaitan dengan beberapa kaidah fiqih sebagai petunjuk operasional untuk memudahkan proses istinbath al-hukm yang sesuai dengan tujuan syara’ dan kemaslahatan manusia, yaitu:
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat. Karena tidak dapat terdeteksi secara meyakinkan dharurah yang terkandung di dalamnya, maka kebolehan dan keringanan hukum operasi rekonstruksi selaput dara wanita berkeluarga untuk keharmonisan dilarang. Selain itu perbuatan tersebut pada dasarnya juga termasuk perbuatan maksiat karena membuka aurat dan merubah bentuk tubuh.
2. (الْحُكْمُ يَدُورُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُوداً وَ عَدَماً)
Hukum itu berputar beserta ‘illah-nya, baik dari sisi adanya maupun ketiadaan ‘illah-nya. Dari sini ‘illah yang digunakan adalah untuk keharmonisan keluarga dan suami tidak berbuat serong di luar rumah. Akan tetapi ‘illah yang diajukan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai dharurah (hajah) dan mashlahah (hakiki) sehingga hukumnya menjadi tidak boleh disebabkan tiadanya ‘illah mashlahah tersebut.
Kaidah fiqih yang paling cocok untuk menyimpulkan hukum rekonstruksi selaput dara wanita berkeluarga untuk keharmonisan keluarga adalah kaidah ini, yaitu bilamana ridho dengan perkawinan maka harus ridho juga terhadap segala hal yang ditimbulkannya sebagi konsekuensi dan bentuk tanggung jawab. Robeknya selaput dara istri setelah berhubungan seks adalah suatu hal yang sangat wajar dan harus bisa diterima, sehingga segala hal yang diupayakan sebagai bentuk ketidak-relaan terhadap konsekuensi (robeknya selaput dara istri) yang timbul adalah sebuah pelanggaran prinsip Islam.
Kelima, dari berbagai macam pertimbangan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum operasi rekonstruksi selaput dara yang dilakukan wanita berkeluarga untuk kehamonisan keluarga (dengan beberapa alasan yang sudah disebutkan) prespektif mashlahah mursalah adalah haram. Terlepas apapun alasannya termasuk ancaman keharmonisan keluarga dan suami berbuat serong di luar rumah.
Penulis berusaha untuk berhati-hati dalam memberikan kesimpulan hukum tersebut dikarenakan fenomena ini berpeluang menjadi trend dan ajang pamer kecantikan/kesempurnaan di kalangan wanita muslimah yang sudah berkeluarga, sehingga bahaya yang akan ditimbulkannya begitu besar. Hukum “haram” ini disebabkan antara lain:
1. Kemaslahatan (hakiki) yang dicari dalam praktik operasi tersebut tidak ditemukan. Pada dasarnya hukum operasi adalah haram karena sifatnya yang menyakitkan dan merubah anggota badan sampai datang beberapa syarat yang memperbolehkan seperti pengobatan dan terapi medis, tetapi dua hal tersebut tidak terdapat pada kasus ini.
Apalagi kalau yang dioperasi anggota tubuh paling vital (vagina), maka kemaslahatan yang dicari harus benar-benar diupayakan dengan teliti dan benar karena hukum asal farji adalah haram. Selain itu, bahaya yang ditimbulkan sangat besar, yaitu selain menghambur-hamburkan uang juga berpeluang menjadi trendatau ajang pamer kecantikan bagi wanita Indonesia.
2. Di sisi lain, masih banyak alternatif lain yang bisa ditempuh untuk kembali menciptakan dan menjaga keharmonisan keluarga melalui hubungan intim suami istri, seperti senam peremajaan otot-otot vagina dan sebagainya yang tidak sampai menyakitkan, mengeluarkan biaya banyak dan membuka aurat sebagaimana operasi rekonstruksi selaput dara.
Apalagi sensasi berhubungan seks masing-masing orang berbeda (relatif), baik yang dengan kondisi perawan atau tidak, sehingga tidak dapat dijadikan alasan pasti dan umum (sebagai syarat mashlahah mursalah) untuk diperbolehkan melakukan operasi tersebut. Selain itu juga, keharmonisan keluarga bukan hanya diukur dari bagaimana sensasi hubungan intim suami-istri, melainkan lebih luas dari itu yaitu mencakup pemenuhan semua kebutuhan lahir dan batin suami-istri. Barangkali alternatif lain untuk menjaga keharmonisan keluarga bukan terletak pada keharusan kembali perawan untuk menyenangkan suami, tetapi kembali memahami peran masing-masing sebagai suami-istri dan memaksimalkannya.
[1] Jalaluddin As-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadzair: fi qawaid wa furu’ fiqh ash-Syafi’iyyah, juz I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 112 dan 190.
[2] Namisah adalah perempuan yang menghilangkan rambut dari wajah, dan mutanammisat adalah perempuan yang meminta dicabut rambutnya
[3] Mutafallijat yaitu perempuan-perempuan yang merenggangkan gigi, yaitu dengan cara mengikir diantara gigi seri dan gigi taring.
[4] Al-Mughayyirat yaitu sifat yang menetapi segala bentuk perubahan bentuk (tubuh) sebagaimana contoh perubahan-perubahan bentuk di atas.
[5] Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, jilid 10, (Cairo: Dar at-Taufiqiyyah, tt.), 472-473.
[6] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), 81.
[7] Muhammad Khalid Mansur, Al-Ahkam At-Thibbiyyah Al-Muta’alliqah Bi An-Nisa’ Fi Fiqhi Al-Islami, terj. Team Azzam, Pengobatan Wanita Dalam Pandangan Fikih Islam, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2004), 138.
[8] Ibid., 161-162.
[9] Jalaluddin As-Suyuti, Op.Cit., 178.
[10] Ibid., 182.
0 komentar:
Posting Komentar