Dikalangan para ulama’ terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum transplantasi ini. Sebagian ada yang melarang, sebagian ada yang membolehkan, dengan syarat, dan sebagian lagi ada yang memang membolehkan praktek transplantasi.
1. Pendapat Ulama’ NU Tentang Transplantasi
Pada Muktamar Nahdlatul Ulama’ XXVIII tanggal 26-29 Robiul Akhir 1410 H atau tepatnya 25-28 Nopember 1989 M di Pondok Posantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, memutuskan bahwa hukum wasiat pencangkokan organ tubuh mayat adalah tidak sah atau batal. Wasiat pencangkokan organ tubuh mayat tidak sah karena tidak memenuhi syarat sahnya wasiat, yaitu Muthlaq al-Milki.[1]
Menurut syara’ organ tubuh manusia adalah merupakan hak Allah, bukan milik seseorang. Dengan kematian manusia maka terputuslah semua hak yang didasarkan pada kehidupan. Tetapi ketika meninggal, haknya untuk dihormati masih tetap ada. Hak-hak tersebut walaupun bersifat khusus bagi pemiliknya tetapi di dalamnya ada hak Allah hingga hak Allah itu tidak bisa gugur walaupun ada faktor-faktor lain yang menggugurkan hak manusia. Sedangkan syarat sahnya wasiat adalah barang atau manfaat yang diwasiatkan haruslah sesuatu yang menjadi milik pewasiat, dalam hal ini adalah pendonor.
Akan tetapi, larangan ini tidaklah mutlak. Karena ada sebagian ulama’ NU yang memperbolehkan dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi, sebagai berikut:[2]
a. Karena memang sangat dibutuhkan,
b. Tidak ditemukan organ lain, kecuali dari organ manusia,
c. Mata yang diambil harus dari mayit yang memang darahnya diperkenankan untuk ditumpahkan (baca: karena hukuman mati),
d. Antara donor dan penerima harus ada kesamaan agama. Transplantasi organ selain mata, misalnya jantung, Liver, ginjal, dan lain-lain, dianalogikan pada Transplantasi mata.
2. Pendapat Ulama’ Muhammadiyah Tentang Transplantasi
Pada Muktamar Muhammadiyah XLII di Yogyakarta Tahun 1990, Pimpinan Majlis Tarjih merasa perlu dibukukannya forum tanya jawab yang dimuat dalam "Suara Muhammadiyah” sejak tahun 1986, hal ini dimaksudkan agar substansi dari tanya jawab tersebut dapat lebih bermanfaat bagi masyarakat. Salah satu isi dari tanya jawab tersebut adalah mengenai wasiat pencangkokan organ tubuh ketika seseorang meninggal dunia. Majlis Tarjih menyatakan kebolehannya selama dalam proses pencangkokan tidak mengandung unsur penyiksaan dan penghinaan terhadap mayat. Artinya, Majlis Tarjih Muhammadiyah tidak membolehkan secara mutlak wasiat pencangkokan organ tubuh. Disana masih terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi:
Pertama, si pendonor harus sudah tabarru’ (baligh, berakal dan sadar), tidak ada paksaan dari pihak manapun ketika ia berwasiat dan menyatakan wasiatnya baik secara lisan maupun tulisan dengan disaksikan oleh ahli waris atau orang yang dapat dipercaya. Tidak disyaratkan bagi pendonor adalah seorang muslim karena semua organ tubuh itu sama baik milik muslim atau non-muslim. Yang membedakan hanyalah yang mengendalikan organ tubuh. Apakah akan digunakan untuk mengabdi kepada Allah SWT atau sebaliknya. Alangkah lebih baik bagi pendonor atau orang yang berwasiat meminta persetujuan dari ahli waris atau sanak kerabat agar dalam proses pencangkokan dapat mengurangi kesedihan ahli waris atau sanak kerabat yang ditinggalkan.
Kedua, resipien atau orang yang diberi wasiat bukan orang kafir harbi, seorang yang murtad atau yang membunuh pendonor atau pewasiat. Lebih baik lagi jika yang menjadi resipien adalah sanak kerabat atau keluarga dekat.
Ketiga, organ tubuh yang diwasiatkan hendaknya organ yang bermanfaat. Ukuran sesuatu dikatakan bermanfat adalah jika sesuatu tersebut dibutuhkan. Jadi bagian tubuh manapun dapat didonorkan kecuali bagian alat reproduksi, seperti: air mani, indung telur dan batang pelir. Karena hal ini bertentangan dengan tujuan syari’at untuk menjaga pencampuran nasab dan menyebabkan adanya pembuatan keturunan yang tidak melalui jalur pernikahan.
Keempat, pencangkokan ini hanya ditujukan untuk membantu sesama manusia agar dapat dicapai kemaslahatan bersama. Selain itu, pencangkokan ini bertujuan untuk mengharapkan ridho dari Allah SWT tidak untuk tujuan komersil.
Kelima, disyaratkan dalam proses pencangkokan tidak ada upaya untuk melakukan penyiksaan dan penghinaan terhadap mayat. Jadi setelah proses pencangkokan usai, mayat harus diperlakukan sesuai dengan syari’at Islam, yaitu dimandikan, dikafankan, disholatkan dan dikuburkan menghadap kiblat.
Jika kelima unsur di atas belum terpenuhi maka wasiat pencangkokan organ tubuh belum dapat dikatakan sah.
3. Fatwa MUI Tentang Transplantasi
Musyawarah Nasional (Munas) VIII MUI yang dibacakan Sekretaris Komisi E tentang fatwa, Asrorun Niam Sholeh di Jakarta, Selasa. "Tranplantasi boleh dilakukan dengan persyaratan,” kata Asrorun. Selain itu, pencangkokan atau tranplantasi dimungkinkan dilakukan antara muslim dengan non-muslim jika ada hajat untuk itu. Diperbolehkan juga tranplantasi dari binatang sekalipun najis dalam keadaan darurat. MUI juga memperbolehkan donor organ tubuh dari orang meninggal dengan syarat kematiannya disaksikan dua dokter ahli. Namun, MUI mengharamkan jual beli organ tubuh.[3]
Fatwa yang dikeluarkan MUI lebih untuk menguatkan dan meyakinkan umat muslim dalam menjalankan kehidupan yang lebih baik dan sesuai syar’i karena selama ini pencangkokan organ tubuh sudah sering dilakukan dalam dunia kedokteran.
0 komentar:
Posting Komentar