Adanya anggapan bahwa pria lebih kuat daripada wanita, barangkali berasal dari pemahaman hadits nabi yang menyatakan bahwa wanita (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Dengan begitu kaum Adam (laki-laki) merasa punya hak atas wanita, sehingga mereka memperlakukannya dengan sewenang-wenang bahkan kadang-kadang di luar batas-batas perikemanusiaan, seperti pemerkosaan, penindasan, dan sebagainya sebagaimana dimuat dalam berbagai media masa, baik surat kabar, televisi, radio, majalah dan sebagainya.
Status perempuan dalam Islam (al-Qur’an) dapat dipahami secara benar bila status mereka pada masa pra Islam dapat diketahui. Membicarakan status wanita dalam Islam tidak bisa terlepas dari pembicaraan status perempuan secara umum. Bagaimanapun, sejarah perempuan memang sebuah potret yang unik dan sekaligus kontroversial. Unik karena di dalamnya terdapat unsur dan sisi yang tidak semuanya objektif, kontrovesial karena kedudukan perempuan selalu dipersoalkan dan diperdebatkan di mana-mana. Hal ini sangat berbeda dengan kedudukan laki-laki dalam sejarah yang menjadi grand narative (pusat cerita) dan pusat sejarah.
Kebanyakan intelektual dan sejarawan, terutama dari kalangan Islam, melihat posisi perempuan sebagai gambaran kehidupan yang sangat buram dan memprihatinkan. Perempuan dipandang sebagai makhluk tak berharga dan menjadi bagian laki-laki (sub ordinatif), keberadaannya sering menimbulkan masalah, tidak memiliki independensi diri, hak-haknya boleh dirampas, tubuhnya dapat diperjualbelikan atau diwariskan, dan diletakkan dalam posisi yang termarginalkan.
Yusuf Abdullah Daghfaq sebagaimana dikutip oleh Syahrin Harahap mengungkapkan bahwa dalam bangsa Perancis pada masa sebelum Islam menggambarkan kondisi perempuan sebagai berikut:
"Pada abad sebelum Islam, Perancis, sebagian masyarakat bahkan mempertanyakan apakah wanita itu manusia atau setan? Apakah wanita itu Binatang? Apakah benar wanita dibebani hukum. Pada waktu itu mereka mengganggap wanita tidak punya hak bicara. Mereka menganggap seperti unta dan anjing galak karena mereka adalah penangkap iblis. Bahkan beberapa sekte membolehkan sang ayah menjual anak perempuannya."
Sementara itu dalam agama Hindu, kedudukan wanita juga sangat menyedihkan, sebab pada masa tertentu dalam sejarah India perbudakan dipandang sebagai prinsip utama. Siang malam wanita dipandang sebagai makhluk yang selalu dalam keadaan ketergantungan. Hukum pewarisan adalah agnatis, artinya menurut garis keturunan laki-laki saja, tanpa mengikutsertakan perempuan.
Sedangkan dalam agama Yahudi, dijumpai pandangan negatif terhadap perempuan yang tidak jauh berbeda dengan bangsa lainnya. Pernah dikatakan bahwa nasehat umum orang-orang Yahudi, lebih baik berjalan di belakang harimau daripada berjalan dibelakang perempuan. Bahkan menurut catatan Munawar Ahmad Anees, kebencian orang Yahudi terhadap kaum perempuan demikian tingginya, sehingga dalam do’a sehari-hari pun terungkap kata-kata yang merendahkan kaum perempuan. Mereka sering berdo’a, “terpujilah engkau, Tuhan, yang tidak menciptakan aku sebagai perempuan”.
Sementara itu pada masyarakat Arab pra-Islam, nasib perempuan juga mengalami nasib yang tragis. Hal ini dapat dilihat ketika seorang laki-laki meninggal dunia, maka putranya yang lebih tua atau anggota keluarga lainnya mempunyai hak untuk memiliki janda-janda dari yang meninggal, mengawini mereka jika suka, tanpa memberikan mas kawin, atau mengawininya dengan orang lain, atau melarang mereka kawin sama sekali. Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan bahwa bangsa Arab pada masa Jahiliyah biasa mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup.
Peran jender adalah ide-ide kultural yang menentukan harapan-harapan kepada laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat.
Dalam perespektif budaya, setiap orang dilahirkan dengan kategori budaya laki-laki (baca: “jantan”) atau perempuan (baca: “betina”). Sejak lahir setiap orang sudah ditentukan peran dan atribut jendernya masing-masing. Jika seorang lahir sebagai laki-laki, maka diharapkan dan dikondissikan untuk berperan sebagai laki-laki. Sebaliknya jika seorang lahir sebagai perempuan maka diharapkan dan dikondisikan untuk berperan sebagai perempuan.
Dalam pergaulan sehari-hari dalam masyarakat yang menganut perbedaan jender, ada tata krama dalam hukum yang membedakan seorang seolah-olah dituntut mempunyai perasaan jender (gender feeling) dalam pergaulan. Jika seseorang menyalahi nilai, norma, dan perasaan tersebut, maka yang bersangkutan akan menghadapi resiko dalam masyarakat.
Predikat laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol status. Laki-laki diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karakteristik “kejantanan” (maculinity), sedangkan perempuan diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karakteristik “kewanitaan” (feminimity). Perempuan dipresepsikan sebagai manusia yang cantik, langsing dan lembut. Sebaliknya laki-laki dipresepsikan manusia yang perkasa, agresif dan tegar. Laki-laki dianggap lebih cerdas dalam banyak hal.
Kedatangan Islam adalah Rahmatan li al-‘Alamin, sebagai rahmat sekalian alam (manusia) dan telah mengangkat martabat kaum perempuan dan menempatkan pada posisi yang layak baginya dan memberikan kedudukan yang sama dengan laki-laki dengan batas kodrat alamiyahnya.
0 komentar:
Posting Komentar